Kamis, 14 Juni 2012

Subyek Hukum Tindak PIdana Korupsi


SUBYEK HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI

Subyek hukum  adalah orang yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai pelaku tindak pidana. UU No. 31 Tahun 1999 menggunakan istilah setiap orang, yang kemudian dalam pasal 1 ke 3 diatur bahwa yang dimaksud dengan setiap orang adalah orang perseorangan termasuk korporasi. Kemudian terdapat secara khusus didalam pasal-pasal tertentu bahwa subyeknya adalah pegawai negeri, sehingga subyek hukum dalam tindak pidana korupsi  meliputi :
1.    Pegawai Negeri atau penyelenggara negara;
2.    Setiap orang adalah orang perseorangan termasuk korporasi.

A.  Barang Siapa / Setiap Orang

Dari segi tata bahasa, setiap orang “siapa saja” tidak terbatas pada sekelompok atau golongan profesi saja.seseorang yang melakukan perbuatan yang memenuhi rumusan tindak pidana yang telah ditentukan dalam suatu ketentuan hukum pidana maka orang itu telah memenuhi persyaratan untuk didakwa melakukan tindak pidana. Dalam hal ini, penegak hukum wajib untuk memprosesnya untuk diajukan ke pengadilan. Itulah pegangan penuntut umum untuk mengajukan seseorang ke pengadilan dan mendakwanya telah melakukan tindak pidana. Rumusan delik yang telah ditentukan undang-undanglah yang harus dipenuhinya.

B.  Pegawai Negeri

Pada saat Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 (UU No.3/1971) diundangkan, terdapat perbedaan pendapat khususnya mengenai penerapan subjek dalam Pasal 1 ayat (1) sub a dan b. Pendapat pada umumnya menyatakan bahwa hanya pegawai negeri (yang pengertiannya diperluas dengan pasal 2) sajalah yang dapat menjadi subjek dalam Pasal 1 ayat (1) sub a     dan b. Perbedaan pendapat ini diakibatkan oleh beberapa hal. Pertama, UU No. 3 Tahun 1971 adalah pengganti UU No. 24 (Prp) Tahun 1960 yang subjeknya pegawai negeri. Kedua, penjelasan umum yang diantaranya menyatakan, “...berdasarkan pengalaman-pengalaman selama ini, orang-orang bukan pegawai negeri menurut pengertian hukum administrasi, dengan menerima tugas tertentu dari suatu badan negara, badan yang menerima bantuan negara, dapat melakukan perbuatan tersebut”.
Bunyi pasal 2 UU No. 3/1971 telah mengakibatkan perbedaan pendapat tentang subjek hukum UU No. 3/1971 antara yang berpendapat subjek itu hanya pegawai negeri dengan perluasan pasal 2 dan terbatas pada bdan hukum seperti Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan yang berpendapat subjek itu dapat juga swasta yang bukan pegawai negeri. Pendapat pertama didasarkan pada penjelasan umum yang menyatakan “pengertian pegawai negeri dalam undang-undang ini sebagai subjek tindak idana korupsi...”. Ini diartikan subjek itu hanya pegawai negeri dan yang disamakan dengan itu, sebagaimana yang siatur dalam pasal 2. Pasal 2 ini secara sistematik diartikan hanya pegawai negeri saja subjek dari tindak pidana yang perbuatan materiilnya dirumuskan dalam pasal 2 undang-undang itu.
Pendapat kedua mendasarkan pendapatnya pada ketentuan “barang siap” yang dapat berarti siapa saja. Bahkan, dengan menghubungkan “barang siapa: itu dengan penafsiran pasal 2 dan penjelasannya, dapat diartikan bahwa swasta itupun dapat juga menjadi subjek dari pasal 1 ayat (1) sub b, bukan hanya subjek pasal 1 ayat (1) sub a.
Dari rumusan pasal 1 ayat (1) sub a tidak ada satu perkataan pun yand membatasi subjeknya. Siapa saja dapat menjadi subjek itu asalkan dia melakukan perbuatan melawan hukum, memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu badan yang secara langsugn atau tidak langsung merugikan keuangan negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebagaimana dirumuskan pasal 1 ayat (1) sub a UU No. 3 / 1971. bukan hanay terbatas pada pegawai negeri, swasta pun dapat menjadi subjek hukum karena pasal 1 ayat (1) sub a itu telah menjadi yurisprudensi tetap Mahkamah Agung (MA) (lihat putusan No. 471K/Kr/1979).
Perkembangan selanjutnya, dengan putusan-putusan MA yang sudah merupakan yurisprudensi tetap, subjek khususnya untuk pasal 1 ayat (1) sub a sudah berkembang tidak lagi hanya pegawai negeri (dan yang diperluas dengan pasal 2) tetapi dapat juga pihak swasta. Sementara itu, untuk Pasal 1 ayat (1) sub b masih dianut pendirian “subjeknya hanyalah pegawai negeri dengan tambahan pengertian seperti diatur dalam pasal 2”. Bagaimanapun, hukum harus berkembang sesuai dengan tuntutan rasa keadilan masyarakat tempat hukum itu diperlakukan. Perkembangan itu apabila tidak melalui perubahan undang-undang, dapat juga melalui pernafsiran-penafsiran yang menjadi tugas hakim, yang lazim dikatakan sebagai penemuan dalil hukum (rechtvising). Perkembangan atas siapa saja yang dapat menjadi subjek itu terjadi juga dalam pasal 1 ayat (1) sub b. Walaupun masih belum dapat disebut sebagai yurisprudensi tetap, tetap ada putusan MA yang menerima swasta sebagai subjek dari padal 1 ayat (1) sub b.
 Karena adanya perbedaan penafsiran antara para ahli hukum dalam UU No. 3 Tahun 1971, maka dalam UU No. 30 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 diperjelas, kapan subjek hukum dapat berlaku kepada siapa saja tanpa ada kualitas tertentu, dan juga kapan subjek hukum dari pasal tersebut harus merupakan seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara.

Ad.1.Pegawai Negeri

Pengertian Pegawai Negeri menurut UU No. 3 Tahun 1971 Pasal 2 :
Pegawai Negeri yang simaksud oleh Undang-undang ini meliputi juga orang-orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah atau yang menerima gaji atau upah dari suatu badan-badan hukum yang menerima bantuan dan keuangan negara atau daerah, atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat.
Pengertian Pegawai Negeri menurut Pasal 1 ke 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, meliputi :
a.    pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Kepegawaian;
b.    pegawai negeri sebagai dimaksud dalam KUHP;
c.    orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
d.    orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dan keuangan negara atau daerah, atau;
e.    orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang memepergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

Pegawai negeri yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian yaitu dirumuskan dalam pasal 1 angka 1 sebagai  berikut :
Pegawai Negeri adalah  setiap warga Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Jenis Pegawai Negeri dirumuskan dalam pasal 2 (1) Pegawai Negeri terdiri dari Pegawai Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional dan Anggota Kepolisisn Negera Republik Indonesia.
Sedangkan yang dimaksud pegawai negeri dalam pasal 92 KUHP, sebagai berikut :
(1)     Yang disebut Pejabat, termasuk uga orang-orang yang dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum, begitu juga orang-orang yang, bukan karena pemilihan, menjadi anggota badan pembentuk undang-undang badan pemerintahan, atau badan perwakilan rakyat, yang dibentuk oleh pemerintah atau atas nama pemerintah, begitu  juga semua anggota dewan waterchap, dan semua kepala rakyat Indonesia asli dan kepala golongan Timur Asing, yang menjalankan kekuasaan yang sah.
(2)     Yang disebut pejabat dan hakim, termasuk juga hakim wasit, yang disebut hakim temasuk juga orang-orang yang menjalankan perarilan administratif, serta ketua-ketua dan anggota-anggota pengadilan agama.
(3)     Semua orang angkatan perang juga dianggap sebagai pejabat.

Pengertian pegawai ngeri dalam padal 1 ke 2 huruf e Undang-undang 31 Tahun 1999 yaitu orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang mempergunakan modal atau fasilitas dari Negara atau masyarakat, ini memperluas pengertian pegawai negeri. Yang dimaksud dengan fasilitas adalah perlakuan istimewa yang diberikan dalam berbagai bentuk, misalnya bunga pinjaman yang tidak wajar, harga yang tidak wajar, pemberian ijin yang eksklusif, termasuk keringanan bea masuk atau pajak yang bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.

B.   Penyelenggara Negara

Pengertian Penyelenggara Negara dirumuskan dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepostisme. Penyelenggara negara meliputi :
1.      Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara;
2.      Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;
3.      Menteri;
4.      Gubernur;
5.      Hakim;
6.      Pejabat Negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
7.      Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penjelasan Angka 6 mengatakan : yang dimaksud dengan “pejabat negara yang lain” dalam ketentuan ini misalnya Kepala Perwakilan Repulik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh, Wakil Gubernur dan Bupati/ Walikotamadya.
Penjelasan Angka 7 mengatakan yang dimaksud dengan “pejabat lain yang memiliki fungsi strategis” adalah pejabat yang tugas dan wewenangnya di dalam melakukan penyelenggaraan negara rawan terhadap praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, yang meliputi :
1.    Direksi, Komisaris dan pejabat struktural lainnya pada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah;
2.    Pimpinan Bank Indonesia dan Pimpinan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN sudah dibubarkan - dianggap tidak ada-);
3.    Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri;
4.    Pejabat Eselon I dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
5.    Jaksa;
6.    Penyidik;
7.    Panitera Pengadilan; dan
8.    Pemimpin dan bendaharawan proyek.

D.  Korporasi.

Pada awalnya di Indonesia hanya dikenal satu subyek hukum, yaitu orang sebagai subyek hukum. Beban tugas mengurus pada suatu badan hukum berada pada pengurusnya, korporasi bukanlah suatu subyek hukum pidana. Pendapat ini kemudian berkembang menjadi pengakuan bahwa korporasi dapat menjadi pelaku tindak pidana, namun pertanggungjawaban pidananya tetap berada pada pengurusnya. Pidana baru bisa dihapus jika pengurus dapat membuktikan bahwa dirinya tidak terlibat.[1] Hal ini seperti yang dianut oleh Undang-Undang KUHP. Dalam KUHP hanya mengenal manusia sebagai pelaku tindak pidana, tidak terdapat satu pasalpun yang menentukan pelaku tindak pidana selain manusia (natural person).
Menurut Pasal 59 KUHP, subyek hukum korporasi tidak  dikenal. Apabila pengurus korporasi melakukan tindak pidana yang dilakukan dalam rangka mewakili atau dilakukan untuk dan atas nama korporasi, maka pertanggungjawaban pidana dibebankan hanya kepada pengurus uang melakukan tindak pidana itu. Bunyi lengkap Pasal 56 KUHP adalah sebagai berikut :
“Dalam hal-hal mana pelanggaran ditentukan pidananya diancamkan kepada pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka tidak dipidana pangurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur tangan melakukan pelanggaran.”

Dari membaca Pasal 59 KUHP maka dapat diketahui bahwa tindak pidana tidak pernah dilakukan oleh korporasi tetapi dilakukan oleh pengurusnya. Sebagai konsekuensinya, maka pengurus itu pula yang dibebani pertanggungjawaban pidana sekalipun pengurus dalam melakukan perbuatan itu dilakukan untuk dan atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, atau bertujuan untuk memberikan manfaat bagi korporasi dan bukan bagi pribadi pengurus.[2]
Alasan KUHP tidak mengenal adanya tanggung jawab pidana oleh korporasi dipengaruhi oleh dua azas, yaitu azas “societas deliquere non potest” dan “actus non facit reum, nisi mens sit rea”. Azas “societas deliquere non potest” atau “universitas deliquere non potest” berarti bahwa badan-badan hukum tidak bisa melakukan tindak pidana. Azas ini merupakan contoh yang khas dari pemikiran dogmatis dari abad ke-19, dimana kesalahan menurut hukum pidana selalu diisyaratkan sebagai kesalahan manusia. Sehingga korporasi yang menurut teori fiksi (fiction theory) merupakan subyek hukum (perdata), tidak diakui dalam hukum pidana [3]. Para pembuat KUHP berpendapat bahwa hanya manusia yang dapat dibebani dengan pertanggungjawaban pidana berdasarkan azas “actus non facit reum, nisi mens sit rea”[4] atau “nulla poena sine culpa”. Azas ini berarti bahwa “an act does not make a man guilty of crime, unless his mind be also guilty”. Atau dalam bahasa Belanda dikenal dengan ungkapan “Geen straf zonder schuld”. Terjemahan bahasa Indonesia adalah “Tiada pidana tanpa kesalahan”. Yang dimaksud dari azas ini adalah untuk membuktikan bahwa benar seseorang telah bersalah karena melakukan suatu perbuatan yang diberikan sanksi pidana maka harus dibuktikan terlebih dahulu kesalahannya (culpability atau blameworthiness) baik dalam perilaku maupun pikirannya. Atau menurut Sutan Remy Sjahdeini azas ini mengandung arti bahwa seseorang tidak dapat dibebani pertanggungjawaban pidana karena telah melakukan suatu tindak pidana apabila dalam melakukan perbuatan yang menurut undang-undang pidana merupakan tindak pidana, telah melakukan perbuatan tersebut dengan tidak sengaja dan bukan karena kelalaiannya.[5]
Azas “tiada pidana tanpa kesalahannya” pada umumnya diakui sebagai prinsip umum diberbagai negara. Namun tidak banyak undang-undang hukum materil di berbagai negara yang merumuskan secara tegas azas ini dalam undang-undangnya. Biasanya perumusan azas ini terlihat dalam perumusan mengenai pertanggungjawaban pidana, khususnya yang berhubungan dengan masalah kesengajaan dan kealpaan.[6] Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, azas ini dapat ditemukan pada :
Pasal 44 ayat (1) KUHP:
Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.

Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman :
Tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.
Rancangan KUHP (RKUHP) versi 2005 juga telah mencantumkan azas ini dalam Pasal 37 ayat (1), yaitu “tiada seorangpun dapat dipidana tanpa kesalahannya”.[7]
Berkaitan dengan azas tersebut di atas, dalam hukum pidana dikenal istilah actus reus dan mens  rea.Actus Reus atau disebut juga elemen luar (external elements) dari kejahatan adalah istilah latin untuk perbuatan lahiriah yang terlarang (guilty act). Untuk membuktikan bahwa seorang adalah benar bersalah dan memiliki tanggung jawab pidana atas perbuatannya maka harus terdapat perbuatan lahiriah yang terlarang (actus reus) dan terdapat sikap batin yang jahat/tercela (mens rea).[8]

Actus reus tidak hanya memandang pada suatu perbuatan dalam arti biasa, tetapi juga mengandung arti yang lebih luas, yaitu meliputi :
1.    Perbuatan dari si terdakwa (the conduct of the accused person).Perbuatan ini dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu; komisi (commisions) dan omisi (omissions).[9]
2.    Hasil atau akibat dari perbuatannya itu (its result/consequences); dan
3.    Keadaan-keadaan yang tercantum dalam perumusan tindak pidana (surrounding circumstances which are inclided ini the definition of the offence).[10]

Mens rea berasal dari bahasa latin yang artinya adalah sikap kalbu (guilty mind). Sikap kalbu seseorang yang termasuk mens rea dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1.    Intention (kesengajaan)
2.    Recklessness (kesembronoan), atau sering disebut juga dengan istilah willful blindness. Dikatakan terdapat recklessness jika seseorang mengambil dengan sengaja suatu risiko yang tidak dibenarkan. [11]
3.    Criminal negligence (kealpaan/kekurang hati-hatian).[12]

Dalam hukum pidana Indonesia mens rea hanya terbagi menjadi dua bagian, yaitu kesengajaan atau dolus dan kealpaan atau culpa. Jika seseorang hanya memiliki sikap batin yang jahat tetapi tidak pernah melaksanakan sikap batinnya itu dalam wujud suatu perilaku, baik yang terlihat sebagai melakukan perbuatan tertentu (commission) atau sebagai tidak berbuat sesuatu (ommission), tidak dapat dikatakan orang tersebut telah melakukan suatu tindak pidana.[13]
Terdapat pengecualian dalam aturan umum bahwa untik menentukan seorang bersalah Jaksa Penuntut Umum harus dapat membuktikan mens rea, pengecualian itu adalah dengan doktrin strict liability. Doktrin ini mengatakan bahwa seseorang dapat dinyatakan bersalah atas suatu perbuatan tanpa perlu dibuktikan adanya sikap batin yang jahat/tercela dalam perbuatannya atau pertanggungjawaban tanpa kesalahan.
Dalam hubungannya dengan azas “tiada pidana tanpa kesalahan”, maka konsekuensinys bahwa hanya sesuatu yang memiliki batin sajalah yang dapat dibebani pertanggungjawaban pidana. Karena hanya manusia yang memiliki batin, dan korporasi tidak, maka hanya manusia saja (naturlijke person) yag dapat dibebani tanggung jawab pidana.[14] Bagi korporasi, unsur kesalahan ini sulit diterapkan, karena korporasi bukanlah manusia. Korporasi tidak memiliki batin dan karena itu sulit untuk mengetahui niatnya. Namun, apabila korporasi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hanya karena sulitnya membuktikan kesalahan, maka akan terjadi kekebalan hukum terhadap korporasi, padahal korporasi juga banyak melakukan tindak pidana.
1.   Korporasi Sebagai Subyek Tindak Pidana Dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia
Pada awalnya di Indonesia dianut pendapat bahwa beban tugas mengurus (zorgplicht) suatu “kesatuan orang” atau korporasi harus berada pada pengurusnya, korporasi bukan subyek hukum pidana.[15] Berdasarkan Pasal 59 KUHP hingga saat ini masih dianut pengurus korporasi melakukan tindak pidana maka pertanggungjawaban pidana dibebankan hanya kepada pengurus yang melakukan tindak pidana itu. Selain Pasal 59 KUHP yang terdapat dalam buku I, terdapat tiga pasal lain dalam buku II KUHP yang menyangkut korporasi. Pasal tersebut adalah Pasal 169 KUHP tentang turut serta dalam perkumpulan terlarang, Pasal 398 dan Pasal 399 KUHP tentang Pengurus atau komisaris perseroan terbatas maskapai Indonesia atau perkumpulan koperasi. Namun pengaturan korporasi sebagai subyek hukum pidana ternyata banyak diatur dalam undang-undang pidana di luar KUHP.[16]
Pengaturan korporasi sebagai subyek hukum pidana di Indonesia dimulai pada tahun 1955, yaitu melalui Pasal 15 Undang-Undang No.7 Darurat Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Menurut undang-undang tersebut badan hukum, perseroan, perserikatan yang lainnya atau yayasan telah dijadikan subyek hukum pidana yang dapat dituntut dan dipidana.[17]
Dalam perkembangan hukum pidana Indonesia, menurut Mardjono Reksodiputro terdapat tiga sistem pertanggungjawaban korporasi sebagai subyek tindak pidana, yaitu:
a.    Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung jawab;
Sistem pertanggungjawaban ini ditandai dengan usaha-usaha agar sifat tindak pidana yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan. Sehingga apabila suatu tindak pidana terjadi dalam lingkungan korporasi, maka tindak pidana itu dianggap dilakukan oleh pengurus kororasi. Hal ini serupa dengan apa yang diatur dalam pasal 59 KUHP, dimana pengurus yang tidak memenuhi kewajiban yang sebenarnya merupakan kewajiban korporasi dapat dinyatakan bertanggungjawab.
b.           Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggung jawab;
Korporasi sebagai pembuat, maka pengurus yang bertanggungjawa ditandai dengan pengakuan yang timbul dalam perumusan undang-undang bahwa suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh korporasi, akan tetapi tanggung jawab untuk itu menjadi tanggung jawab pengurus korporasi asal saja dinyatakan secara tegas dalam peraturan tersebut.
Contoh Undang-undang yang menganut sistem pertanggungjawaban yang kedua ini adalah Pasal 27 ayat (1) UU No. 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, Pasal 4 ayat (1) UU No. 38 Tahun 1960 tentang Penggunaan dan Penetapan luas tanah, Pasal 35 UU No. 3 Tahun 1982 tentang wajib daftar perusahaan.
c.    Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab.
Sistem pertanggungjawaban korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggungjawab merupakan tanggung jawab langsung dari korporasi. Dalam sistem ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Peraturan perundang-undangan yang menempatkan korporasi sebagai subjek tindak pidana dan secara langsung dapat ditanggungjawabkan adalah dalam Pasal 15 UU No. 7 Darurat Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Perumusan serupa terdapat juga dalam Pasal 39 UU No. 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi, UU No. 24 Tahun 1992 tentang Perasurasnsian, Pasal 108 UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan dan juga dalam UU No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika dan UU No. 8 Tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen. [18]

Selain tiga sistem pertanggungjawaban korporasi yang telah disebutkan diatas, terdapat satu sistem pertanggungjawaban korporasi yang menurut Sutan Remy Sjahdeini harus ada dan diterapkan, yaitu pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana dan keduanya pula harus memikul pertanggungjawaban pidana. [19]
Pendapat ini didasari oleh; pertama, apabila hanya pengurus yang dibebani pertanggungjawaban pidana, maka menjadi tidak adil bagi masyarakat yang telah menderita kerugian karena pengurus dalam melakukan perbuatannya itu adalah untuk dan atas nama korporasi serta dimaksudkan untuk mengurangi kerugian finansial bagi korporasi. Kedua, apabila yang dibebani pertanggungjawaban pidana hanya korporasi sedang pengurus tidak harus memikul  tanggung jawab, maka sistem ini akan dapat memungkinkan pengurus bersikap “lempar batu sembunyi tangan”. Dan, ketiga, pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi hanya mungkin dilakukan secara pengganti.  Segala perbuatan hukum, dalam lapangan keperdataan maupun pidana, dilakukan oleh manusia yang menjalankan kepengurusan korporasi.
Dalam hal perbuatan hukum itu merupakan tindak pidana, actus reus dan mens rea tindak pidana itu ada pada manusia pelaku. [20]

2.   Korporasi Sebagai Subyek Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi

Yang dimaksud dengan korporasi dalam undang-undang tindak pidana korupsi, dirumuskan dalam Pasal 1 sub 1, berikut ini Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
Dalam tindak pidana korupsi, korporasi dapat sebagai pelaku apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama. Kalau orang itu ada hubungan kerja atau yang lainnya, boleh jadi ia sebagai pemodal atau pemegang saham ataupun mungkin sebagai pegawai pada korporasi dan menerima gaji atau upah dari korporasi itu. Orang-orang tersebut dalam kegiatan usaha korporasi mereka itu dapat bertindak sendiri atau bersama-sama. Kemudian diantara mereka itu akan dipilih dan diangkat sebagai pengurus sehingga mereka merupakan organ korporasi yang menjalankan kepengurusan korporasi yang bersangkutan sesuai dengan anggaran dasar, termasuk mereka yang dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan ikut memutuskan kebijakan korporasi. Kemungkinan dalam memutuskan suatu kebijakan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. Apabila korporasi tersebut dalam kegiatan usahanya menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, maka orang menerima gaji atau upah tersebut berkedudukan sebagai pegawai negeri. Pengurus dalam korporasi yang seperti ini yang memiliki kewenangan dan memutuskan kebijakan korporasi yang menyimpang dari ketentuan undang-undang yang dapat menimbulkan kerugian keuangan negara atau daerah, maka dapat dikualifikasikan sebagai melakukan pidana korupsi dan apabila tindak pidana korupsi ini oleh atau nama korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengawasnya. Bila mana tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi tersebut, maka korporasi itu diwakili oleh pengurusnya. Selanjutnya pengurus yang mewakili korporasi itu dapat diwakili oleh orang lain.
Di dalam persidangan pengadilan korupsi, pengurus korporasi yang diwakili korporasi ataupun dia sendiri yang sebagai terdakwanya dapat diperintahkan oleh hakim untuk menghadap sendiri di pengadilan dan dalam hal sudah dipanggil ke sidang pengadilan dengan secara patut, tetapi tidak memenuhi panggilan tersebut, maka hakim dapat pula memerintahkan agar pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan. Bila mana korporasi berposisi sebagai terdakwa dalam perkara korupsi, maka surat panggilan untuk menghadap atau menghadiri (relaas) dialamatkan kepada pengurus bertempat tinggal atau dialamat pengurus berkantor dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
Pasal 20 ayat (7) menyebutkan “Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga)”. Timbul pertanyaan dalam hal ini yaitu Apakah ketentuan mengenai pidana pokok denda yang diatur dalam Pasal 30 KUHP berlaku bagi korporasi ? Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah apabila hukuman denda tidak dibayar apakah lalu diganti dengan hukuman   kurungan ? Mengingat terpidana adalah korporasi yang merupakan rechtspersoon, maka terhadap korporasi penjatuhan hukumannya sudah ditekankan dalam ayat di atas yaitu hanya pidana denda saja. Berarti tidak ada hukuman penggantinya, kalau tidak dibayar dendanya walaupun tidak ditentukan dalam ayat itu ataupun tidak Penjelasan terhadap ayat tersebut, tetapi tidak menutup kemungkinan dapat diselesaikan secara perdata. Mengenai hukuman tambahannya, dapat juga diterapkan sesuai ketentuan dalam Pasal 38 ayat (1).


[1] Marjono Reksodiputro (a), Buu Ketiga: Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 1997), hal 7.
[2] Sultan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: GrafitiPers, 2006), hal 30.
[3] H. Setiyono, Kejahatan Korporasi, (malang; Averroes Press, 2002) hal 15-16.
[4] Asas ini pertama kali dinyatakan oleh Edwar Coke pada tahun 1797, http://en.wikipedia.org/wiki/Edward Coke diakses pada tanggal 19 Nopember 2006.
[5] Sjahdeini, op.cit., hal 33.
[6] Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers, 1994), hal 88.
[7] Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Rancangan KUHP, Jakarta: 2005.
[8] Barda Nawawi Arief, dalam bukunya Perbandingan Hukum Pidana (Jakarta; Rajawali Pers, 1994), hal 26. mengartikan mens rea menjadi sikap batin yang jahat/ tercela. Sedangkan Remy dalam bukunya tindak pidana korporasi, hal 22., menggunakan istilah sikap kalbu untuk mengartikan mens rea.
[9] “Actus Reus””, http://en.wikipedia.org/wiki/Actus Reus, loc.cit
[10] Arief, op.cit., hal 26.
[11] Arief, op. cit., hal 27. Reckleness yang dikenal di Inggris dapat disamakan dengan bewuse schuld (krslpssn/ krdslshsn ysng disadari) atau dalam beberapa hal dapat disamakan dengan dolus evantualis.
[12] “Mens Rea”, http://en.wikipedia.org/wiki/Mens Rea>, diakses pada tanggal 19 November 2006.
[13] Sjahdeini, op. cit., hal 26.
[14] Sjahdeini, Ibid., hal 31.
[15] Mardjono Reksodiputro (b), Buku Kesatu: Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 1997), hal 69.
[16] Walaupun pengaturan korporasi sebagai subjek hokum pidana telah dimulai sejak tahun 1955 dan telah banyak diatur dalam undang-undang pidana diluar KUHP, pada praktek penegakan hokum di Indonesia penulis belum menemukan satu tindak pidana yang diajukan ke persidangan dengan korporasi sebagai terdakwa, kecuali untuk tindak pidana lingkungan hidup dan tindak pidana perhutanan.
[17] Reksodiputro (b), loc, cit.
[18] Reksodiputo (b), op. cit, hal 72., dan Setiyono, op. cit., hal 15-22.
[19] Sjahdeini, o. cit., hal 62.
[20] Ibid., hal 62-63

Kekhususan Delik Korupsi dari Sudut Hukum Pidana Formil




     Kekhususan Delik Korupsi dari Sudut Hukum Pidana Formil

Hukum pidana formil adalah serangkaian aturan hukum pidana yang mengatur bagaimana cara mempertahankan atau prosedur untuk menuntut kemuka pengadilan orang-orang yang disangka melakukan perbuatan pidana (criminal procedure). Sebagaimana layaknya KUHP maupun perundang-undangan lain yang merupakan hukum pidana materil, UU No. 31 tahun 1999 dan UU No. 20 tahun 2001 memerlukan hukum formil atau hukum acara. Hukum acara ini berfungsi untuk mengatur bagaimana caranya hukum materil tersebut dipertahankan atau diterapkan dalam hal terjadi tindak pidana korupsi yang pada prinsipnya berisi ketentuan tentang penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan. Sepanjang menyangkut hukum acara, Pasal 26 UU No. 31 tahun 1999 menentukan hukum acara yang dipakai adalah hukum acara pidana yang berlaku kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. Sebagaimana diketahui, sejak tanggal 31 Desember 1981 hukum acara pidana umum yang berlaku di Indonesia adalah Undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sedangkan beberapa ketentuan mengenai hukum acara pidana yang ditentukan lain terdapat pada beberapa Pasal dalam UU No. 31 tahun 1999 dan UU No. 20 tahun 2001 yang antara lain mengatur tentang[1]:

a.   Prioritas Penyelesaian Perkara Korupsi

Menurut ketentuan dalam Pasal 25 UU No. 31 tahun 1999 proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya. Prioritas penyelesaian perkara pidana seperti yang diatur dalam ketentuan ini tidak dikenal dalam KUHAP, kecuali menyangkut hak tersangka untuk segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum sebagaimana diatur dalam Pasal 50 ayat (1) KUHAP dan kewajiban Ketua Pengadilan Negeri untuk menunjuk hakim setelah Pengadilan Negeri menerima surat pelimpahan perkara yang bersangkutan (Pasal 152 ayat (1) KUHAP).

b.   Perluasan Sumber Alat Bukti Petunjuk

Dalam Pasal 26 A UU No. 20 tahun 2001 diatur mengenai perluasan sumber alat bukti petunjuk, yaitu selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP, juga dapat diperoleh melalui informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan serat optik atau sejenisnya dan dokumen yang berupa rekaman data yang dapat dijabat, dibaca, atau didengar dengan bantuan sarana lain atau tidak baik yang tertuang di atas kertas dan benda fisik lainnya maupun yang terekam secara elektronik berupa tulisan, suara, gambar, rancangan, foto, huruf, tanda, angka atau perforasi yang memiliki makna. Lebih jauh, dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyatakan bahwa informasi elektronik (termasuk suara hasil penyadapan) merupakan alat bukti hukum yang sah.

c.     Keleluasaan Penyidik

Sebagaimana diatur dalam Pasal 30 UU No. 31 tahun 1999, penyidik dalam perkara korupsi berhak membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos, telekomunikasi, atau alat lainnya yang dicurigai berhubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa. Sedangkan menurut Pasal 47 ayat (1) KUHAP pemeriksaan dan penyitaan surat dan kiriman tersebut hanya dapat dilakukan dengan ijin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat.

d.     Maksimalisasi Upaya Pengembalian Kerugian Negara

Dalam Pasal 32 ayat (1) UU No. 31 tahun 1999 disebutkan apabila hasil penyidikan tidak memberikan cukup bukti adanya tindak pidana korupsi sedangkan secara nyata terdapat kerugian negara, maka penyidik menyerahkan hasil penyidikannya kepada pengacara negara untuk dilakukan gugatan secara perdata. Sedangkan dalam Pasal 32 ayat (2) disebutkan putusan bebas dalam perkara korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara. Kedua ketentuan tersebut tidak dikenal dalam hukum acara pidana biasa, kecuali dalam Pasal 67 KUHAP yang menyebutkan terdakwa atau penuntut umum berhak untuk mengajukan banding atas putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut kurang tepatnya masalah penetapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat. Selain itu menurut Pasal 100 ayat (1) KUHAP jika terjadi penggabungan perkara perdata dan perkara pidana, maka penggabungan tersebut dengan sendirinya terjadi dalam pemeriksaan tingkat banding. Ketentuan dalam Pasal 32 ayat (1) dan (2) UU No. 31 tahun 1999 tersebut tampaknya dimaksudkan untuk memaksimalkan upaya pengembalian kerugian negara akibat tindak pidana korupsi bahkan terhadap tersangka atau terdakwa yang pada saat proses penyidikan atau persidangan meninggal dunia, tetap dapat dilakukan gugatan perdata terhadap ahli waris tersangka atau terdakwa tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 33 dan 34 Undang-undang No. 31 tahun 1999. Sedangkan menurut ketentuan Pasal 76, 77, dan 78 KUHP, yang menyebabkan tersangka atau terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum adalah ne bis in idem, tersangka atau terdakwa meninggal dunia, dan tindak pidana yang bersangkutan sudah kadaluarsa.

e.     Kewajiban Memberikan Kesaksian

Pasal 36 UU No. 31 tahun 1999 menyebutkan mengenai kewajiban memberikan kesaksian termasuk bagi mereka yang menurut pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, kecuali petugas agama yang menurut keyakinannya harus menyimpan rahasia. Sedangkan menurut ketentuan KUHAP, yaitu dalam Pasal 170 ayat (1) bagi orang-orang tersebut dapat meminta untuk dibebaskan sebagai saksi dalam suatu perkara pidana.

f.      Pengadilan in absentia

Menurut Pasal 38 UU No. 31 tahun 1999, jika terdakwa dalam perkara korupsi telah dipanggil secara sah tetapi tetap tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya (pengadilan in absentia). Sedangkan menurut hukum acara pidana biasa sebagaimana diatur dalam Pasal 154 dan 196 KUHAP, hadirnya terdakwa dalam persidangan dan pembacaan putusan hakim merupakan suatu keharusan, sehingga dalam Pasal ini juga diatur mulai dari pemanggilan terdakwa secara sah sampai upaya menghadirkan terdakwa secara paksa.

g.   Pembuktian Terbalik

Selain penuntut umum yang wajib membuktikan dakwaannya, menurut Pasal 38 B ayat (1) UU No. 20 tahun 2001 terdakwa tindak pidana korupsi wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Sistem pembuktian terbalik seperti ini tidak dikenal dalam proses perkara pidana biasa, kewajiban pembuktian dalam proses perkara pidana biasa sepenuhnya dibebankan kepada jaksa selaku penuntut umum. Walaupun sebenarnya sistem pembuktian terbalik ini seringkali mendapatkan kritik, karena undang-undang tindak pidana korupsi seolah-olah menganut “pembuktian terbalik” dimana terdakwa dapat membuktikan kalau dirinya tidak bersalah, tetapi pada akhirnya tetap kembali pada Penuntut Umum yang harus membuktikan bahwa terdakwa bersalah. Didalam KUHAP beban pembuktian hanya ada Penuntut Umum.

h.     Peran Serta Masyarakat

Dalam Pasal 41 dan 42 UU No. 31 tahun 1999 diatur mengenai peran serta masyarakat dalam membantu pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Guna  melaksanakan ketentuan Pasal 41 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (5) UU Nomor 31 Tahun 1999 tersebut maka dibentuk Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Peran serta masyarakat antara lain diimplementasikan dalam bentuk hak untuk mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi. Jika dibandingkan dengan ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) KUHAP, hak-hak tersebut merupakan kewenangan penyelidik yang dalam hal ini adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia sebagaimana ditentukan oleh Pasal 4 KUHAP. Sedangkan peran serta masyarakat, yaitu setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan atau menjadi korban tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik atau penyidik secara lisan maupun tertulis sebagaimana diatur dalam Pasal 108 ayat (1) KUHAP.

Orang akan takut akan melakukan tindak pidana korupsi jika penegak hukum benar-benar melaksanakan undang-undang tanpa pandang bulu. Equality before the law harus sungguh-sungguh dilaksanakan dan undang-undang tindak pidana korupsi ditegakkan.



Kekhususan Delik Korupsi dari Sudut Hukum Pidana Materil


 

      Kekhususan Delik Korupsi dari Sudut Hukum Pidana Materil


Salah satu agenda reformasi di bidang pemerintahan adalah penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas dari unsur korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) sebagaimana tertuang dalam TAP MPRRI No. XI/MPR/1998. Dalam konteks mewujudkan good government dan clean governance ini TAP MPR tersebut kemudian diimplementasikan ke dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang salah satunya adalah Undangundang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian dilakukan perubahan melalui UU No. 20 tahun 2001. Dalam konsideran menimbang Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 disebutkan bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak sosial ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Dari konsideran tersebut terlihat sifat khusus tindak pidana korupsi terletak pada adanya unsur kerugian keuangan negara, yang bahkan dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak sosial ekonomi masyarakat. Sebagaimana undang-undang lain yang mengatur hukum pidana khusus, UU No. 31 tahun 1999 dan UU No. 20 tahun 2001 mengandung beberapa ketentuan yang menyimpang dari ketentuan hukum pidana umum yang terdapat dalam KUHP.
Sesuai adagium lex specialist derogat legi generali, ketentuan khusus dalam kedua undang-undang tersebut mengesampingkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan lain yang bersifat umum. Dalam konteks ini UU No. 31 tahun 1999 dan UU No. 20 tahun 2001 adalah lex specialist dan KUHP adalah legi generali-nya. Menurut Nolte dalam Het Strafrecht en de Afzonderlijke Wetten, penyimpangan dalam hukum pidana khusus terdiri dari dua macam, yaitu penyimpangan secara tegas tersurat dalam undang-undang yang bersangkutan secara expressisverbis dan penyimpangan secara diam-diam[1].
Kekhususan dan penyimpangan tersebut antara lain seperti terdapat dalam beberapa Pasal UU No. 31 tahun 1999 dan UU No. 20 tahun 2001, yaitu[2]:

a.    Pengertian Pegawai Negeri diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 31 tahun 1999,

 

b.    Korporasi sebagai subyek hukum   diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UU No. 31 tahun 1999. Hal ini menyimpang dari ketentuan pidana umum yang selalu menunjuk orang sebagai subyek hukum. Hampir semua perumusan delik dalam KUHP dimulai dengan kata-kata “barang siapa” atau dalam Pasal 341 dan 342 KUHP yang dimulai dengan kata-kata “seorang ibu” yang menunjuk manusia sebagai subyek hukum. Pengertian korporasi dalam Pasal 1 ayat (3) UU No. 31 tahun 1999 merupakan pengertian korporasi dalam arti luas. Disebutkan bahwa korporasi adalah kumpulan orang atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.


c.    Hukuman Penuh untuk Percobaan dan Pembantuan

Dalam Pasal 15 UU No. 31 tahun 1999 disebutkan bahwa percobaan, pembantuan (medepleger) maupun permufakatan jahat dipidana sama dengan pidana terhadap tindak pidana korupsi. Hal ini menyimpang dari ketentuan dalam Pasal 53 ayat (2) dan Pasal 57 ayat (1) KUHP yang menentukan hukuman maksimal bagi percobaan dan pembantuan tindak pidana, yaitu hukuman maksimal tindak pidana yang bersangkutan dikurangi sepertiganya.

d.    Perluasan Wilayah Indonesia

Dalam Pasal 16 UU No. 31 tahun 1999 disebutkan setiap orang yang berada di luar wilayah Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Ketentuan dalam Pasal tersebut selain menyimpang dariketentuan dalam KUHP menyangkut hukuman terhadap turut serta dalam tindak pidana (Pasal 55 KUHP), juga memungkinkan untuk diberlakukannya hukum pidana Indonesia di luar wilayah Indonesia. Menurut ketentuan dalam Pasal 2 KUHP, hukum pidana Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana diseluruh wilayah Indonesia. Dengan pengecualian berlaku bagi setiap orang di luar wilayah Indonesia yang berada dalam kapal berbendera Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 KUHP, dan berlaku bagi setiap orang di luar wilayah Indonesia yang melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan menyangkut mata uang Indonesia dan kejahatan pelayaran, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 KUHP.

e.    Pidana Tambahan

Dalam Pasal 18 UU No. 31 tahun 1999 diatur mengenai pidana tambahan selain pidana tambahan yang sudah ditentukan dalam Pasal 10 KUHP. Pidana tambahan tersebut, yaitu perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud dan barang tidak bergerak yang digunakan atau diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan dan barang yang menggantikan barang-barang tersebut. Selain itu ditentukan mengenai pidana tambahan yang berupa pembayaran uang pengganti, penutupan sebagian atau seluruh perusahaan, dan pencabutan seluruh atau sebagian hak tertentu dan keuntungan yang diberikan oleh pemerintah.

 

f.     Gratifikasi

Salah satu hal baru yang diatur dalam UU No. 20 tahun 2001 adalah mengenai gratifikasi yang diatur dalam Pasal 12 B undang-undang tersebut. Menurut ketentuan dalam Pasal ini setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Ancaman pidana terhadap pegawai negeri yang terbukti menerima suap tersebut adalah mulai dari pidana sementara minimal empat tahun dan maksimal 20 tahun penjara sampai dengan pidana seumur hidup. Hal yang menarik adalah ketentuan dalam Pasal tersebut tidak berlaku apabila pegawai negeri penerima gratifikasi melaporkannya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu maksimal tigapuluh hari sebagaimana diatur dalam Pasal 12 C Undang-undang ini. Sementara itu pengertian gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12 B adalah pemberian dalam arti luas yang meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya yang diterima di dalam maupun di luar negeri dengan menggunakan maupun tanpa sarana elektronik.

g.    Penjara Minimum

Menurut Pasal 12 ayat (2) KUHP, pidana penjara minimum adalah satu hari. Sedangkan tentang ancaman minimum dalam Pasal 5 UU No. 31 tahun 1999 (dan beberapa pasal lainnya) disebutkan bahwa minimal penjara 1 tahun. Pengubahan batas ancaman minimum penjara menjadi lebih berat ini dilakukan dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.


[1] Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi,  (Jakarta: Raja Grafindo, 2006),      hal. 3.
[2] Ibid., hal. 111-121 (disarikan) dan “Karakteristik Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” Oleh Dadang Kosasih, diterbitkan dalam Pemeriksa No. 87, Oktober 2002, hal. 49.