SUBYEK
HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI
Subyek
hukum adalah orang yang dapat
dipertanggungjawabkan sebagai pelaku tindak pidana. UU No. 31 Tahun 1999
menggunakan istilah setiap orang, yang kemudian dalam pasal 1 ke 3 diatur bahwa
yang dimaksud dengan setiap orang adalah orang perseorangan termasuk korporasi.
Kemudian terdapat secara khusus didalam pasal-pasal tertentu bahwa subyeknya
adalah pegawai negeri, sehingga subyek hukum dalam tindak pidana korupsi meliputi :
1.
Pegawai
Negeri atau penyelenggara negara;
2.
Setiap
orang adalah orang perseorangan termasuk korporasi.
A. Barang Siapa / Setiap Orang
Dari
segi tata bahasa, setiap orang “siapa saja” tidak terbatas pada sekelompok atau
golongan profesi saja.seseorang yang melakukan perbuatan yang memenuhi rumusan tindak
pidana yang telah ditentukan dalam suatu ketentuan hukum pidana maka orang itu
telah memenuhi persyaratan untuk didakwa melakukan tindak pidana. Dalam hal
ini, penegak hukum wajib untuk memprosesnya untuk diajukan ke pengadilan.
Itulah pegangan penuntut umum untuk mengajukan seseorang ke pengadilan dan
mendakwanya telah melakukan tindak pidana. Rumusan delik yang telah ditentukan
undang-undanglah yang harus dipenuhinya.
B. Pegawai Negeri
Pada
saat Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 (UU No.3/1971) diundangkan, terdapat
perbedaan pendapat khususnya mengenai penerapan subjek dalam Pasal 1 ayat (1)
sub a dan b. Pendapat pada umumnya menyatakan bahwa hanya pegawai negeri (yang
pengertiannya diperluas dengan pasal 2) sajalah yang dapat menjadi subjek dalam
Pasal 1 ayat (1) sub a dan b.
Perbedaan pendapat ini diakibatkan oleh beberapa hal. Pertama, UU No. 3 Tahun
1971 adalah pengganti UU No. 24 (Prp) Tahun 1960 yang subjeknya pegawai negeri.
Kedua, penjelasan umum yang diantaranya menyatakan, “...berdasarkan
pengalaman-pengalaman selama ini, orang-orang bukan pegawai negeri menurut
pengertian hukum administrasi, dengan menerima tugas tertentu dari suatu badan
negara, badan yang menerima bantuan negara, dapat melakukan perbuatan
tersebut”.
Bunyi
pasal 2 UU No. 3/1971 telah mengakibatkan perbedaan pendapat tentang subjek
hukum UU No. 3/1971 antara yang berpendapat subjek itu hanya pegawai negeri
dengan perluasan pasal 2 dan terbatas pada bdan hukum seperti Badan Usaha Milik
Negara (BUMN), dan yang berpendapat subjek itu dapat juga swasta yang bukan
pegawai negeri. Pendapat pertama didasarkan pada penjelasan umum yang
menyatakan “pengertian pegawai negeri dalam undang-undang ini sebagai subjek
tindak idana korupsi...”. Ini diartikan subjek itu hanya pegawai negeri dan
yang disamakan dengan itu, sebagaimana yang siatur dalam pasal 2. Pasal 2 ini
secara sistematik diartikan hanya pegawai negeri saja subjek dari tindak pidana
yang perbuatan materiilnya dirumuskan dalam pasal 2 undang-undang itu.
Pendapat
kedua mendasarkan pendapatnya pada ketentuan “barang siap” yang dapat berarti
siapa saja. Bahkan, dengan menghubungkan “barang siapa: itu dengan penafsiran
pasal 2 dan penjelasannya, dapat diartikan bahwa swasta itupun dapat juga
menjadi subjek dari pasal 1 ayat (1) sub b, bukan hanya subjek pasal 1 ayat (1)
sub a.
Dari
rumusan pasal 1 ayat (1) sub a tidak ada satu perkataan pun yand membatasi
subjeknya. Siapa saja dapat menjadi subjek itu asalkan dia melakukan perbuatan
melawan hukum, memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu badan yang secara
langsugn atau tidak langsung merugikan keuangan negara, atau diketahui atau
patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara sebagaimana dirumuskan pasal 1 ayat (1) sub a UU No. 3 /
1971. bukan hanay terbatas pada pegawai negeri, swasta pun dapat menjadi subjek
hukum karena pasal 1 ayat (1) sub a itu telah menjadi yurisprudensi tetap
Mahkamah Agung (MA) (lihat putusan No. 471K/Kr/1979).
Perkembangan
selanjutnya, dengan putusan-putusan MA yang sudah merupakan yurisprudensi
tetap, subjek khususnya untuk pasal 1 ayat (1) sub a sudah berkembang tidak
lagi hanya pegawai negeri (dan yang diperluas dengan pasal 2) tetapi dapat juga
pihak swasta. Sementara itu, untuk Pasal 1 ayat (1) sub b masih dianut
pendirian “subjeknya hanyalah pegawai negeri dengan tambahan pengertian seperti
diatur dalam pasal 2”. Bagaimanapun, hukum harus berkembang sesuai dengan
tuntutan rasa keadilan masyarakat tempat hukum itu diperlakukan. Perkembangan
itu apabila tidak melalui perubahan undang-undang, dapat juga melalui
pernafsiran-penafsiran yang menjadi tugas hakim, yang lazim dikatakan sebagai
penemuan dalil hukum (rechtvising). Perkembangan atas siapa saja yang dapat
menjadi subjek itu terjadi juga dalam pasal 1 ayat (1) sub b. Walaupun masih
belum dapat disebut sebagai yurisprudensi tetap, tetap ada putusan MA yang
menerima swasta sebagai subjek dari padal 1 ayat (1) sub b.
Karena adanya perbedaan penafsiran antara para
ahli hukum dalam UU No. 3 Tahun 1971, maka dalam UU No. 30 Tahun 1999 jo UU No.
20 Tahun 2001 diperjelas, kapan subjek hukum dapat berlaku kepada siapa saja
tanpa ada kualitas tertentu, dan juga kapan subjek hukum dari pasal tersebut
harus merupakan seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Ad.1.Pegawai Negeri
Pengertian Pegawai Negeri menurut UU
No. 3 Tahun 1971 Pasal 2 :
Pegawai Negeri yang simaksud oleh
Undang-undang ini meliputi juga orang-orang yang menerima gaji atau upah dari
keuangan negara atau daerah atau yang menerima gaji atau upah dari suatu
badan-badan hukum yang menerima bantuan dan keuangan negara atau daerah, atau
badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari negara
atau masyarakat.
Pengertian Pegawai Negeri menurut
Pasal 1 ke 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, meliputi :
a. pegawai negeri sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang tentang Kepegawaian;
b. pegawai negeri sebagai dimaksud dalam
KUHP;
c. orang yang menerima gaji atau upah
dari keuangan negara atau daerah;
d. orang yang menerima gaji atau upah
dari suatu korporasi yang menerima bantuan dan keuangan negara atau daerah,
atau;
e. orang yang menerima gaji atau upah
dari korporasi lain yang memepergunakan modal atau fasilitas dari negara atau
masyarakat.
Pegawai negeri yang dimaksud
dalam Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1974 tentang pokok-pokok kepegawaian yaitu dirumuskan dalam pasal
1 angka 1 sebagai berikut :
Pegawai Negeri adalah setiap warga Republik Indonesia yang telah
memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi
tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas lainnya, dan digaji
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Jenis Pegawai Negeri dirumuskan dalam
pasal 2 (1) Pegawai Negeri terdiri dari Pegawai Negeri Sipil, Anggota Tentara
Nasional dan Anggota Kepolisisn Negera Republik Indonesia.
Sedangkan yang dimaksud pegawai negeri
dalam pasal 92 KUHP, sebagai berikut :
(1)
Yang
disebut Pejabat, termasuk uga orang-orang yang dipilih dalam pemilihan yang
diadakan berdasarkan aturan-aturan umum, begitu juga orang-orang yang, bukan
karena pemilihan, menjadi anggota badan pembentuk undang-undang badan
pemerintahan, atau badan perwakilan rakyat, yang dibentuk oleh pemerintah atau
atas nama pemerintah, begitu juga semua
anggota dewan waterchap, dan semua kepala rakyat Indonesia asli dan kepala
golongan Timur Asing, yang menjalankan kekuasaan yang sah.
(2)
Yang
disebut pejabat dan hakim, termasuk juga hakim wasit, yang disebut hakim
temasuk juga orang-orang yang menjalankan perarilan administratif, serta
ketua-ketua dan anggota-anggota pengadilan agama.
(3)
Semua
orang angkatan perang juga dianggap sebagai pejabat.
Pengertian pegawai ngeri
dalam padal 1 ke 2 huruf e Undang-undang 31 Tahun 1999 yaitu orang yang
menerima gaji atau upah dari korporasi yang mempergunakan modal atau fasilitas
dari Negara atau masyarakat, ini memperluas pengertian pegawai negeri. Yang
dimaksud dengan fasilitas adalah perlakuan istimewa yang diberikan dalam
berbagai bentuk, misalnya bunga pinjaman yang tidak wajar, harga yang tidak
wajar, pemberian ijin yang eksklusif, termasuk keringanan bea masuk atau pajak
yang bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
B. Penyelenggara
Negara
Pengertian
Penyelenggara Negara dirumuskan dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan
Nepostisme. Penyelenggara negara meliputi :
1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi
Negara;
2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi
Negara;
3. Menteri;
4. Gubernur;
5. Hakim;
6. Pejabat Negara yang lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
7. Pejabat lain yang memiliki fungsi
strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penjelasan Angka 6 mengatakan : yang
dimaksud dengan “pejabat negara yang lain” dalam ketentuan ini misalnya Kepala
Perwakilan Repulik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta
Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh, Wakil Gubernur dan Bupati/ Walikotamadya.
Penjelasan Angka 7 mengatakan yang
dimaksud dengan “pejabat lain yang memiliki fungsi strategis” adalah pejabat
yang tugas dan wewenangnya di dalam melakukan penyelenggaraan negara rawan
terhadap praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, yang meliputi :
1. Direksi, Komisaris dan pejabat
struktural lainnya pada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah;
2. Pimpinan Bank Indonesia dan Pimpinan
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN sudah dibubarkan - dianggap tidak
ada-);
3. Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri;
4. Pejabat Eselon I dan pejabat lain yang
disamakan di lingkungan sipil, militer dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia;
5. Jaksa;
6. Penyidik;
7. Panitera Pengadilan; dan
8. Pemimpin dan bendaharawan proyek.
D. Korporasi.
Pada
awalnya di Indonesia hanya dikenal satu subyek hukum, yaitu orang sebagai
subyek hukum. Beban tugas mengurus pada suatu badan hukum berada pada
pengurusnya, korporasi bukanlah suatu subyek hukum pidana. Pendapat ini
kemudian berkembang menjadi pengakuan bahwa korporasi dapat menjadi pelaku
tindak pidana, namun pertanggungjawaban pidananya tetap berada pada
pengurusnya. Pidana baru bisa dihapus jika pengurus dapat membuktikan bahwa
dirinya tidak terlibat.[1] Hal ini seperti
yang dianut oleh Undang-Undang KUHP. Dalam KUHP hanya mengenal manusia sebagai
pelaku tindak pidana, tidak terdapat satu pasalpun yang menentukan pelaku
tindak pidana selain manusia (natural
person).
Menurut
Pasal 59 KUHP, subyek hukum korporasi tidak
dikenal. Apabila pengurus korporasi melakukan tindak pidana yang
dilakukan dalam rangka mewakili atau dilakukan untuk dan atas nama korporasi,
maka pertanggungjawaban pidana dibebankan hanya kepada pengurus uang melakukan
tindak pidana itu. Bunyi lengkap Pasal 56 KUHP adalah sebagai berikut :
“Dalam hal-hal mana pelanggaran
ditentukan pidananya diancamkan kepada pengurus, anggota-anggota badan pengurus
atau komisaris-komisaris, maka tidak dipidana pangurus, anggota badan pengurus
atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur tangan melakukan pelanggaran.”
Dari
membaca Pasal 59 KUHP maka dapat diketahui bahwa tindak pidana tidak pernah
dilakukan oleh korporasi tetapi dilakukan oleh pengurusnya. Sebagai
konsekuensinya, maka pengurus itu pula yang dibebani pertanggungjawaban pidana
sekalipun pengurus dalam melakukan perbuatan itu dilakukan untuk dan atas nama
korporasi atau untuk kepentingan korporasi, atau bertujuan untuk memberikan
manfaat bagi korporasi dan bukan bagi pribadi pengurus.[2]
Alasan
KUHP tidak mengenal adanya tanggung jawab pidana oleh korporasi dipengaruhi
oleh dua azas, yaitu azas “societas
deliquere non potest” dan “actus non
facit reum, nisi mens sit rea”. Azas “societas
deliquere non potest” atau “universitas
deliquere non potest” berarti bahwa badan-badan hukum tidak bisa melakukan
tindak pidana. Azas ini merupakan contoh yang khas dari pemikiran dogmatis dari
abad ke-19, dimana kesalahan menurut hukum pidana selalu diisyaratkan sebagai
kesalahan manusia. Sehingga korporasi yang menurut teori fiksi (fiction theory) merupakan subyek hukum
(perdata), tidak diakui dalam hukum pidana [3]. Para pembuat KUHP
berpendapat bahwa hanya manusia yang dapat dibebani dengan pertanggungjawaban
pidana berdasarkan azas “actus non facit
reum, nisi mens sit rea”[4]
atau “nulla poena sine culpa”. Azas
ini berarti bahwa “an act does not make a
man guilty of crime, unless his mind be also guilty”. Atau dalam bahasa
Belanda dikenal dengan ungkapan “Geen
straf zonder schuld”. Terjemahan bahasa Indonesia adalah “Tiada pidana
tanpa kesalahan”. Yang dimaksud dari azas ini adalah untuk membuktikan bahwa
benar seseorang telah bersalah karena melakukan suatu perbuatan yang diberikan
sanksi pidana maka harus dibuktikan terlebih dahulu kesalahannya (culpability atau blameworthiness) baik dalam perilaku maupun pikirannya. Atau
menurut Sutan Remy Sjahdeini azas ini mengandung arti bahwa seseorang tidak
dapat dibebani pertanggungjawaban pidana karena telah melakukan suatu tindak
pidana apabila dalam melakukan perbuatan yang menurut undang-undang pidana
merupakan tindak pidana, telah melakukan perbuatan tersebut dengan tidak
sengaja dan bukan karena kelalaiannya.[5]
Azas
“tiada pidana tanpa kesalahannya” pada umumnya diakui sebagai prinsip umum
diberbagai negara. Namun tidak banyak undang-undang hukum materil di berbagai
negara yang merumuskan secara tegas azas ini dalam undang-undangnya. Biasanya
perumusan azas ini terlihat dalam perumusan mengenai pertanggungjawaban pidana,
khususnya yang berhubungan dengan masalah kesengajaan dan kealpaan.[6]
Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, azas ini dapat ditemukan pada :
Pasal 44 ayat (1) KUHP:
Barang siapa melakukan perbuatan yang
tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan
atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
Pasal 6 ayat (2)
Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman :
Tidak seorangpun dapat dijatuhi
pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut
undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung
jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.
Rancangan KUHP (RKUHP) versi 2005 juga
telah mencantumkan azas ini dalam Pasal 37 ayat (1), yaitu “tiada seorangpun
dapat dipidana tanpa kesalahannya”.[7]
Berkaitan dengan azas
tersebut di atas, dalam hukum pidana dikenal istilah actus reus dan mens rea.Actus Reus atau disebut juga elemen luar (external elements) dari kejahatan adalah istilah latin untuk
perbuatan lahiriah yang terlarang (guilty
act). Untuk membuktikan bahwa seorang adalah benar bersalah dan memiliki
tanggung jawab pidana atas perbuatannya maka harus terdapat perbuatan lahiriah
yang terlarang (actus reus) dan
terdapat sikap batin yang jahat/tercela (mens
rea).[8]
Actus reus tidak hanya memandang pada suatu
perbuatan dalam arti biasa, tetapi juga mengandung arti yang lebih luas, yaitu
meliputi :
1.
Perbuatan
dari si terdakwa (the conduct of the
accused person).Perbuatan ini dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu; komisi
(commisions) dan omisi (omissions).[9]
2.
Hasil
atau akibat dari perbuatannya itu (its
result/consequences); dan
3.
Keadaan-keadaan
yang tercantum dalam perumusan tindak pidana (surrounding circumstances which are inclided ini the definition of the
offence).[10]
Mens rea berasal dari bahasa latin yang artinya
adalah sikap kalbu (guilty mind). Sikap
kalbu seseorang yang termasuk mens rea dapat
dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1.
Intention (kesengajaan)
2.
Recklessness (kesembronoan), atau sering disebut
juga dengan istilah willful blindness. Dikatakan
terdapat recklessness jika seseorang
mengambil dengan sengaja suatu risiko yang tidak dibenarkan. [11]
Dalam
hukum pidana Indonesia mens rea hanya
terbagi menjadi dua bagian, yaitu kesengajaan atau dolus dan kealpaan atau culpa.
Jika seseorang hanya memiliki sikap batin yang jahat tetapi tidak pernah
melaksanakan sikap batinnya itu dalam wujud suatu perilaku, baik yang terlihat
sebagai melakukan perbuatan tertentu (commission)
atau sebagai tidak berbuat sesuatu (ommission),
tidak dapat dikatakan orang tersebut telah melakukan suatu tindak pidana.[13]
Terdapat
pengecualian dalam aturan umum bahwa untik menentukan seorang bersalah Jaksa
Penuntut Umum harus dapat membuktikan mens
rea, pengecualian itu adalah dengan doktrin strict liability. Doktrin ini mengatakan bahwa seseorang dapat
dinyatakan bersalah atas suatu perbuatan tanpa perlu dibuktikan adanya sikap
batin yang jahat/tercela dalam perbuatannya atau pertanggungjawaban tanpa
kesalahan.
Dalam
hubungannya dengan azas “tiada pidana tanpa kesalahan”, maka konsekuensinys
bahwa hanya sesuatu yang memiliki batin sajalah yang dapat dibebani
pertanggungjawaban pidana. Karena hanya manusia yang memiliki batin, dan
korporasi tidak, maka hanya manusia saja (naturlijke
person) yag dapat dibebani tanggung jawab pidana.[14]
Bagi korporasi, unsur kesalahan ini sulit diterapkan, karena korporasi bukanlah
manusia. Korporasi tidak memiliki batin dan karena itu sulit untuk mengetahui
niatnya. Namun, apabila korporasi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hanya
karena sulitnya membuktikan kesalahan, maka akan terjadi kekebalan hukum
terhadap korporasi, padahal korporasi juga banyak melakukan tindak pidana.
1. Korporasi Sebagai Subyek Tindak Pidana Dalam
Peraturan Perundang-undangan Indonesia
Pada awalnya di Indonesia
dianut pendapat bahwa beban tugas mengurus (zorgplicht)
suatu “kesatuan orang” atau korporasi harus berada pada pengurusnya, korporasi
bukan subyek hukum pidana.[15] Berdasarkan Pasal
59 KUHP hingga saat ini masih dianut pengurus korporasi melakukan tindak pidana
maka pertanggungjawaban pidana dibebankan hanya kepada pengurus yang melakukan
tindak pidana itu. Selain Pasal 59 KUHP yang terdapat dalam buku I, terdapat tiga
pasal lain dalam buku II KUHP yang menyangkut korporasi. Pasal tersebut adalah
Pasal 169 KUHP tentang turut serta dalam perkumpulan terlarang, Pasal 398 dan
Pasal 399 KUHP tentang Pengurus atau komisaris perseroan terbatas maskapai
Indonesia atau perkumpulan koperasi. Namun pengaturan korporasi sebagai subyek
hukum pidana ternyata banyak diatur dalam undang-undang pidana di luar KUHP.[16]
Pengaturan korporasi
sebagai subyek hukum pidana di Indonesia dimulai pada tahun 1955, yaitu melalui
Pasal 15 Undang-Undang No.7 Darurat Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan
dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Menurut undang-undang tersebut badan
hukum, perseroan, perserikatan yang lainnya atau yayasan telah dijadikan subyek
hukum pidana yang dapat dituntut dan dipidana.[17]
Dalam perkembangan hukum
pidana Indonesia, menurut Mardjono Reksodiputro terdapat tiga sistem pertanggungjawaban
korporasi sebagai subyek tindak pidana, yaitu:
a. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan
penguruslah yang bertanggung jawab;
Sistem pertanggungjawaban ini ditandai
dengan usaha-usaha agar sifat tindak pidana yang dilakukan korporasi dibatasi
pada perorangan. Sehingga apabila suatu tindak pidana terjadi dalam lingkungan
korporasi, maka tindak pidana itu dianggap dilakukan oleh pengurus kororasi.
Hal ini serupa dengan apa yang diatur dalam pasal 59 KUHP, dimana pengurus yang
tidak memenuhi kewajiban yang sebenarnya merupakan kewajiban korporasi dapat
dinyatakan bertanggungjawab.
b. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus
bertanggung jawab;
Korporasi sebagai pembuat, maka
pengurus yang bertanggungjawa ditandai dengan pengakuan yang timbul dalam
perumusan undang-undang bahwa suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh
korporasi, akan tetapi tanggung jawab untuk itu menjadi tanggung jawab pengurus
korporasi asal saja dinyatakan secara tegas dalam peraturan tersebut.
Contoh Undang-undang yang menganut
sistem pertanggungjawaban yang kedua ini adalah Pasal 27 ayat (1) UU No. 22
Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, Pasal 4 ayat (1) UU No.
38 Tahun 1960 tentang Penggunaan dan Penetapan luas tanah, Pasal 35 UU No. 3
Tahun 1982 tentang wajib daftar perusahaan.
c.
Korporasi
sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab.
Sistem pertanggungjawaban korporasi
sebagai pembuat dan yang bertanggungjawab merupakan tanggung jawab langsung
dari korporasi. Dalam sistem ini dibuka kemungkinan untuk menuntut korporasi
dan meminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Peraturan
perundang-undangan yang menempatkan korporasi sebagai subjek tindak pidana dan
secara langsung dapat ditanggungjawabkan adalah dalam Pasal 15 UU No. 7 Darurat
Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
Perumusan serupa terdapat juga dalam Pasal 39 UU No. 3 Tahun 1989 tentang
Telekomunikasi, UU No. 24 Tahun 1992 tentang Perasurasnsian, Pasal 108 UU No.
10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan dan juga dalam UU No. 5 tahun 1997 tentang
Psikotropika dan UU No. 8 Tahun 1998 tentang Perlindungan Konsumen. [18]
Selain tiga sistem
pertanggungjawaban korporasi yang telah disebutkan diatas, terdapat satu sistem
pertanggungjawaban korporasi yang menurut Sutan Remy Sjahdeini harus ada dan
diterapkan, yaitu pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana
dan keduanya pula harus memikul pertanggungjawaban pidana. [19]
Pendapat ini didasari
oleh; pertama, apabila hanya pengurus yang dibebani pertanggungjawaban pidana,
maka menjadi tidak adil bagi masyarakat yang telah menderita kerugian karena
pengurus dalam melakukan perbuatannya itu adalah untuk dan atas nama korporasi
serta dimaksudkan untuk mengurangi kerugian finansial bagi korporasi. Kedua,
apabila yang dibebani pertanggungjawaban pidana hanya korporasi sedang pengurus
tidak harus memikul tanggung jawab, maka
sistem ini akan dapat memungkinkan pengurus bersikap “lempar batu sembunyi
tangan”. Dan, ketiga, pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi
hanya mungkin dilakukan secara pengganti.
Segala perbuatan hukum, dalam lapangan keperdataan maupun pidana,
dilakukan oleh manusia yang menjalankan kepengurusan korporasi.
Dalam hal perbuatan hukum itu
merupakan tindak pidana, actus reus dan
mens rea tindak pidana itu ada pada manusia pelaku. [20]
2. Korporasi Sebagai Subyek Hukum Dalam Tindak
Pidana Korupsi
Yang dimaksud dengan korporasi dalam
undang-undang tindak pidana korupsi, dirumuskan dalam Pasal 1 sub 1, berikut
ini Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
Dalam tindak pidana
korupsi, korporasi dapat sebagai pelaku apabila tindak pidana tersebut
dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan
lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun
bersama-sama. Kalau orang itu ada hubungan kerja atau yang lainnya, boleh jadi
ia sebagai pemodal atau pemegang saham ataupun mungkin sebagai pegawai pada
korporasi dan menerima gaji atau upah dari korporasi itu. Orang-orang tersebut
dalam kegiatan usaha korporasi mereka itu dapat bertindak sendiri atau
bersama-sama. Kemudian diantara mereka itu akan dipilih dan diangkat sebagai
pengurus sehingga mereka merupakan organ korporasi yang menjalankan
kepengurusan korporasi yang bersangkutan sesuai dengan anggaran dasar, termasuk
mereka yang dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan ikut memutuskan
kebijakan korporasi. Kemungkinan dalam memutuskan suatu kebijakan tersebut
dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. Apabila korporasi
tersebut dalam kegiatan usahanya menerima bantuan dari keuangan negara atau
daerah, maka orang menerima gaji atau upah tersebut berkedudukan sebagai
pegawai negeri. Pengurus dalam korporasi yang seperti ini yang memiliki
kewenangan dan memutuskan kebijakan korporasi yang menyimpang dari ketentuan
undang-undang yang dapat menimbulkan kerugian keuangan negara atau daerah, maka
dapat dikualifikasikan sebagai melakukan pidana korupsi dan apabila tindak pidana
korupsi ini oleh atau nama korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat
dilakukan terhadap korporasi dan atau pengawasnya. Bila mana tuntutan pidana
dilakukan terhadap korporasi tersebut, maka korporasi itu diwakili oleh
pengurusnya. Selanjutnya pengurus yang mewakili korporasi itu dapat diwakili
oleh orang lain.
Di dalam persidangan
pengadilan korupsi, pengurus korporasi yang diwakili korporasi ataupun dia
sendiri yang sebagai terdakwanya dapat diperintahkan oleh hakim untuk menghadap
sendiri di pengadilan dan dalam hal sudah dipanggil ke sidang pengadilan dengan
secara patut, tetapi tidak memenuhi panggilan tersebut, maka hakim dapat pula
memerintahkan agar pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan. Bila mana
korporasi berposisi sebagai terdakwa dalam perkara korupsi, maka surat
panggilan untuk menghadap atau menghadiri (relaas) dialamatkan kepada pengurus
bertempat tinggal atau dialamat pengurus berkantor dan penyerahan surat
panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau
di tempat pengurus berkantor.
Pasal 20 ayat (7)
menyebutkan “Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana
denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga)”. Timbul
pertanyaan dalam hal ini yaitu Apakah ketentuan mengenai pidana pokok denda
yang diatur dalam Pasal 30 KUHP berlaku bagi korporasi ? Yang dimaksudkan dalam
hal ini adalah apabila hukuman denda tidak dibayar apakah lalu diganti dengan
hukuman kurungan ? Mengingat terpidana
adalah korporasi yang merupakan rechtspersoon, maka terhadap korporasi
penjatuhan hukumannya sudah ditekankan dalam ayat di atas yaitu hanya pidana
denda saja. Berarti tidak ada hukuman penggantinya, kalau tidak dibayar dendanya
walaupun tidak ditentukan dalam ayat itu ataupun tidak Penjelasan terhadap ayat
tersebut, tetapi tidak menutup kemungkinan dapat diselesaikan secara perdata.
Mengenai hukuman tambahannya, dapat juga diterapkan sesuai ketentuan dalam
Pasal 38 ayat (1).
[1] Marjono Reksodiputro (a), Buu Ketiga: Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana,
(Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia,
1997), hal 7.
[2] Sultan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi, (Jakarta :
GrafitiPers, 2006), hal 30.
[3] H. Setiyono, Kejahatan Korporasi, (malang ; Averroes Press,
2002) hal 15-16.
[4] Asas ini pertama kali dinyatakan oleh Edwar
Coke pada tahun 1797, http://en.wikipedia.org/wiki/Edward
Coke diakses pada tanggal 19 Nopember 2006.
[5] Sjahdeini, op.cit., hal 33.
[6] Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana,
(Jakarta: Rajawali Pers, 1994), hal 88.
[7] Direktorat Jenderal Peraturan
Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Rancangan KUHP, Jakarta : 2005.
[8] Barda Nawawi Arief, dalam bukunya Perbandingan
Hukum Pidana (Jakarta; Rajawali Pers, 1994), hal 26. mengartikan mens rea
menjadi sikap batin yang jahat/ tercela. Sedangkan Remy dalam bukunya tindak
pidana korporasi, hal 22., menggunakan istilah sikap kalbu untuk mengartikan
mens rea.
[9] “Actus Reus””, http://en.wikipedia.org/wiki/Actus
Reus, loc.cit
[10] Arief, op.cit., hal 26.
[11] Arief, op. cit., hal 27. Reckleness yang
dikenal di Inggris dapat disamakan dengan bewuse schuld (krslpssn/ krdslshsn
ysng disadari) atau dalam beberapa hal dapat disamakan dengan dolus evantualis.
[12] “Mens Rea”, http://en.wikipedia.org/wiki/Mens
Rea>, diakses pada tanggal 19 November 2006.
[13] Sjahdeini, op. cit., hal 26.
[14] Sjahdeini, Ibid., hal 31.
[15] Mardjono Reksodiputro (b), Buku Kesatu:
Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan
dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 1997), hal 69.
[16] Walaupun pengaturan korporasi sebagai subjek
hokum pidana telah dimulai sejak tahun 1955 dan telah banyak diatur dalam
undang-undang pidana diluar KUHP, pada praktek penegakan hokum di Indonesia
penulis belum menemukan satu tindak pidana yang diajukan ke persidangan dengan
korporasi sebagai terdakwa, kecuali untuk tindak pidana lingkungan hidup dan
tindak pidana perhutanan.
[17] Reksodiputro (b), loc, cit.
[18] Reksodiputo (b), op. cit, hal 72., dan
Setiyono, op. cit., hal 15-22.
[19] Sjahdeini, o. cit., hal 62.
[20] Ibid., hal 62-63