KEALPAAN (CULPA)
(CULPA dalam arti sempit),
SCHULD, NALATIGHEID, RECKLESSNESS,NEGLIGENCE, FAHRLASSIGKEIT, SEMBRONO,
TELEDOR).
Disamping sikap batin berupa
kesengajaan ada pula sikap batin yang berupa kealpaan. Hal ini terdapat dalam
beberapa delik. Akibat ini timbul karena ia alpa, ia sembrono, teledor, ia
berbuat kurang hati-hati atau kurang penduga-duga.
Dalam buku II KUHP terdapat
beberapa pasal yang memuat unsur kealpaan. Ini adalah delik-delik culpa
(culpose delicten). Delik-delik itu dimuat antara lain dalam :
Pasal 188
|
:
|
Karena kealpaannya
menimbulkan peletusan, kebakaran dst
|
Pasal 231 (4)
|
:
|
Karena kealpaannya
sipenyimpan menyebabkan hilangnya dan sebagainnya barang yang disita
|
Pasal 359
|
:
|
Karena kealpaannya
menyebabkan matinya orang
|
Pasal 360
|
:
|
Karena kealpaannya
menyebabkan orang luka berat dsb.
|
Pasal 409
|
:
|
Karena kealpaannya
menyebabkan alat-alat perlengkapan (jalan api dsb) hancur dsb.
|
Perkataan culpa dalam arti
luas berarti kesalahan pada umumnya, sedang dalam arti sempit adalah bentuk
kesalahan yang berupa kealpaan. Suatu keadaan, yang sedemikian membahayakan
keamanan orang atau barang, atau mendatangkan kerugian terhadap seseorang yang
sedemikian besarnya dan tidak dapat diperbaiki lagi, sehingga umdang-undang
juga bertindak terhadap larangan penghati-hati, sikap sembrono (teledor),
pendek kata “ schuld” (kealpaan yang menyebabkan keadaan tadi)”.(er zijn
feiten, die de algemene vefligheid van onen of goederen zozeer in gevaar
brengen of zo groot en onherstelbaar nadeel bijzondere personen berokkenen, dat
de wet ook de onvoorzichtigheid, de tigheid, het gebrek aan voorzorg, in een
woord, schuld, waar het feit prong heeft, moet tekeer gaan”)
1. Pengertian
kealpaan atau culpa (dalam arti sempit)
Menurut
M.v.T kealpaan disatu pihak berlawanan benar-benar dengan kesengajaan dan
dipihal lain dengan hal yang kebetulan (toevel atau caous).kealpaan merupakan
bentuk kesalahan yang lebih ringan dari pada kesengajaan, akan tetapi bukannya
kesengajaan yang ringan.
Beberapa penulis menyebut
beberapa syarat untuk adanya kealpaan:
a. Hazenwinkel
– Suringa
Ilmu
pengetahuan hukum dan jurispruden mengartikan “schuld” (kealpaan) sebagai:
1.
|
kekurangan penduga – duga
atau
|
2.
|
kekurangan penghati-hati.
|
b. Van
hamel
Kealpaan
mengandung dua syarat:
1.
|
tidak
mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum.
|
2.
|
tidak
mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.
|
c. Simons:
Pada
umumnya “schuld” (kealpaan) mempunyai dua unsur :
1. Tidak
adanya penghati-hati, di samping
2. dapat
diduganya akibat
d. Pompe.
Ada
3 macam yang masuk kealpaan (anachtzaamheid):
1. Dapat
mengirakan (kunnen venvachten) timbulnya akibat
2. Mengetahui
adanya kemungkinan (kennen der mogelijkheid)
3. Dapat
mengetahui adanya kemungkinan (kunnen kennen van de mogelijkheid)
Tetapi
nomor 2 dan 3 hanya apabila mengetahui atau dapat mengetahuinyaitu menyangkut
juga kewajiban untuk menghindarkan perbuatannya (=untuk tidak melakukan
perbuatan).
Kealpaan
orang tersebut harus ditentukan secara normatif, dan tidak secara fisik atau
psychis. Tidaklah mungkin diketahui bagaimana sikap batin seseorang yang
sesungguh-sungguhnya maka haruslah ditetapkan dari luar bagaimana seharusnya ia
berbuat dengan mengambil ukuran sikap
batin orang pada umunya apabila ada dalam situasi yang sama dengan si-pelaku
itu.
a. “Orang
pada umunya” ini berarti bahwa tidak boleh orang yang paling cermat, paling
hati-hati, paling ahli dan sebagainya.
b. Untuk
menentukan adanya kealpaan ini harus dilihat peristiwa demi peristiwa. Yang
harus memegang ukuran normatif dari kealpaan itu adalah Hakim. Undang-undang
mewajibkan seseorang untuk melakukan sesuatu atau untuk tidak melakukan
sesuatu. Misalnya, dalam peraturan lalu-lintas ada ketentuan bahwa” di simpangan
jalan, apabila datangnya bersamaan waktu maka kendaraan dari kiri harus
didahulukan”.
Apabila
seorang pengendara dalam hal ini berbuat lain ini berbuat lain daripada apa
yang diatur itu, maka apabila perbuatannya itu mengakibatkan tabrakan. Sehingga
orang lain luka berat, maka ia dapat dikatakan karena kealpaannya mengakibatkan
orang lain (Pasal. 360 (1) K.U.H.P)
Dalam
hubungan ini VOS mengemukakan, bahwa dalam delik-delik culpa sifat melawan
hukum telah tersimpul di dalam culpa itu sendiri.
Ia
menyatakan antara lain “Memang culpa tidak mesti meliputi dapat dicelanya
si-pelaku, namun culpa menunjukkan kepada tidak patutnya perbuatan itu dan jika
perbuatan itu tidak bersifat melawan hukum, maka tidaklah mungkin perbuatan itu
perbuatan yang abnormal, jadi tidak mungkin ada culpa.
Dalam delik culpoos tidak mungkin diajukan
alasan pembenar (rechtvaar digingsgrond).
c. Untuk
adanya pemidanaan perlu adanya kekurangan hati-hati yang cukup besar, jadi
harus culpa lata dan bukanya culpa levis (kealpaan yang sangat ringan).
- Bentuk
kealpaan
Pada
dasarnya orang berfikirdan berbuat secara sadar. Pada delik culpoos kesadaran
si- pelaku tidak berjalan secara tepat. Karena Bentuk kealpaan dapat dibagi
dalam 2 (dua bentuk) yaitu
- Kealpaan yang disadari (bewuste schuld)
Disini
sipelaku dapat menyadari tentang apa yang dilakukan beserta akibatnya, akan
tetapi ia percaya dan mengharap-harap bahwa akibatnya tidak akan terjadi
- Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste
schuld).
Dalam
hali ini si pelaku melakukan sesuatu yang tidak menyadari kemungkinan akan
timbulnya sesuatu akibat, padahal seharusnya ia dapat menduga sebelumnya.
Perbedaan itu bukanlah berarti bahwa
kealpaan yang disadari itu sifatnya lebih berat dari pada kealpaan yang tidak
disadari. Kerapkali justru karena tanpa berfikir akan kemungkinan timbulnya
akibat malah terjadi akibat yang sangat berat. VAN HATTUM mengatakan, bahwa
“kealpaan yang disadari itu adalah suatu sebutan yang mudah untuk bagian
kesadaran kemungkinan (yang ada pada pelaku), yang tidak merupakan dolus
eventualis”. Hemat kami perbedaan tersebut tidak banyak artinya. Kealpaan
merupakan pengertian yang normatif bukan suatu pengertian yang menyatakan
keadan (bukan feitelijk begrip). Penentuan kealpaan seseorang harus dilakukan
dari luar, harus disimpulkan dari situasi tertentu, bagaimana saharusnya
si-pelaku itu berbuat.
- Delik “pro parte dolus pro parte culpa”
Delik-delik yang di-rumuskan
dalam pasal 359, 360, 188, 409 dapat disebut delik-delik culpoos dalam arti
yang sesungguhnya. Disamping itu ada delik-delik yang di dalam perumusanya
memuat unsur kesengajaan dan kealpaan sekaligus, sedang ancaman pidananya sama.
Muljatno menamakan delik-delik tersebut sebagai delik yang salah satu unsurnya
diculpakan.
Misalnya:
Pasal 480 (penadahan)
Pasal 483, 484 (delik yang
menyangkut pencetak dan penerbit).
Pasal 287, 288, 292
(delik-delik kesusilaan).
Rumusan yang dipakai dalam
delik-delik tersebut ialah “diketahui” atau “mengerti” bentuk kesengajaan dan
“sepatutnya harus di-duga” atau “seharusnya menduga bentuk kealpaan. Pada
delik-delik ini kesengajaan atau kealpaan hanya tertuju kepada salah tertuju
kepada salah satu unsur dari delik itu.
- Pada
delik penadahan ditujukan kepada hal “bahwa barang yang bersangkutan diperoleh
dari kejahatan”.
- Pada
delik-delik kesusilaan (pasal 287 dan pasal 288) ditujukan kepada “umur-wanita
belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tak ternyata, bahwa belum mampu
dikawin”.
- Pada
delik Pasal 292 ditujukan kepada unsur “ belum cukup umur dari orang yang sama
kelamin itu”.
- Pada
delik-delik Pasal 483 dan Pasal 484 ditujukan kepada unsur “pelaku/orang yang
menyuruh cetak pada saat penerbitan, tidak dapat dituntut, atau menetap diluar
Indonesia.
Dalam surat dakwaan:
a. Cukup
dicantumkan uraian kata-kata presis seperti apa yang dirumuskan dalam
undang-undang, jadi misalnya untuk delik dalam pasal 480 : benda), yang
diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa diperoleh dari kejahatan”.
b. Ada
dan tidak adanya kealpaan itu harus dibuktikan dalam pemeriksaan pengadilan
ditetapkan oleh Hakim.
c. Pembuktiannya
cukup secara normatif, jadi tidak dilihat apakah terdakwa mengetahui.
Arrest Hooggerchtshof (dalam
tingkat kasasi) yang membatalkan keputusan Raad van Justitie Medan, yang
membebaskan terdakwa yang dituduh melakukan “schuldheling” (pasal 480),
Hooggerechtshof (H.G.H) menyatakan bahwa wet tidak mengharuskan adanya dugaan
pada terdakwa sepatutnya harus menduga bahwa barang itu berasal dari kejahatan,
dengan sama sekali tidak menagnggap penting apakah terdakwa betul-betul
mempunyai dugaan atau tidak.
Kelapaan orang lain tidak
dapat meniadakan kealpaan dari terdakwa.
Contoh :
a. terdakwa
sebagai pengendara mobil tetap dipidana karena ia pada malam hari menabrak
gerobag yang tidak memakai lampu. Pengendara gerobag alpa, tetapi ini tidak
meniadakan kealpaan terdakwa.
Seorang pengemudi mobil pada pagi hari jam 03.00
melanggar sekaligus 4 orang yang sedang tidur di tengah jalan raya. Dalam kasus
inipun tidak boleh dilihat “kealpaan orang lain”, akan tetapi tetap harus
ditinjau ada dan tidak adanya kealpaan pada pengemudi mobil, apakah ia kurang
hati-hati dan kurang-menduga-duga ? bagaimana keadaan mobilnya ? kalau lampunya
kurang terang, maka ini merupakan indikasi dari kealpaannya. Apabila lampunya
normal, maka seharusnya ia dapat mengetahui orang yang tidur di jalan itu.
Kalau tidak, maka ini merupakan kealpaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar