Kamis, 14 Juni 2012

Hak Jaksa Mengajukan Peninjauan Kembali (PK)


 HAK JAKSA MENGAJUKAN PENINJAUAN KEMBALI (PK)


(Suatu catatan)   



A. Bahwa ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang berbunyi :
“Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terdakwa atau ahli warisnya dapat mengajuka permintaan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung RI”,
pada hakekatnya merupakan salah satu ketentuan hukum publik yang sifatnya imperative, yang merupakan pedoman bagi pelaksanaan penegakan hukum.
Bekenaan dengan ketentuan pasal 263 ayat (1) tersebut, timbul pertanyaan : Apakah hak untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung RI hanya semata-mata merupakan hak terdakwa atau ahli warisnya ? apakah Jaksa Penuntut Umum tidak mempunyai hak untuk mengajukan Peninjauan Kembali ?
Dalam ketentuan KUHAP maupun ketentuan perundang-undangan lainnya, tidak ditemukan adanya larangan bagi jaksa Penuntut Umum, untuk mengajukan permintaan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung.
Sesuai dengan praktek yurisprudensi yang selama ini berjalan, Mahkamah Agung RI, telah melakukan penafsiran ekstensif dalam bentuk to growth the meaning atau overrule terhadap ketentuan-ketentuan imperative yang ada dalam KUHAP.
Penafsiran ekstensif dalam bentuk to growth the meaning ataupun overrule terhadap ketentuan KUHAP tersebut, ditinjau dari doktrin, pada hakekatnya merupakan diskresi dari ketentuan KUHAP yang sangat diperlukan untuk memperoleh penyelesaian perkara yang lebih fair, ditinjau dari aspek kepentingan umum dan tuntutan rasa keadilan yang lebih hakiki serta manusiawi yang dikenal dengan istilah “According to the principle of justice”.

B. Bahwa tujuan dari hukum acara pidana, adalah untuk mencari dan mendapatkan, atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran selengkap-lengkapya dari suatu perkara pidana, dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan, guna menemukan apakah terbukti suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan, maka KUHAP harus secara maksimal digunakan untuk mendapatkan kebenaran metariil dengan cara melenturkan atau mengembangkan atau melakukan penafsiran ekstensif terhadap ketentuan-ketentuannya, in casu khususnya Pasal 263 KUHAP, dengan memberikan kesempatan kepada Jaksa Penuntut Umum, korban tindak pidana dan pihak lain yang berkepentingan untuk mengajukan Peninjauan Kembali. Oleh karena itu perlu menggeser perspektif ketenuan hukum acara pidana, dari offender oriented menjadi victim orented dan dari keadilan retributive menjadi keadilan restorative atau keadilan sosiologis.

C. Tujuan dari hukum acara tersebut sejalan pula dengan doktrin yang berkembang, yaitu antara lain bahwa korban tindak pidana berhak untuk menggunakan upaya hukum / rechtmiddelen (pandangan Arif Gosita dan JE Sahetapy), yang menururt Mahkamah Agung merupakan perlindungan korban kejahatan dalam lingkup prosedural, yang telah dimiliki pula oleh Jaksa Penuntut Umum, yang pada dasarnya merupakan pihak yang mewakili kepentingan masyarakat secara kolektif maupun individual, akan tetapi apa yang dilakukannya dalam praktek peradilan sering tidak memenuhi rasa keadilan bagi pencari keadilan. Sehingga karena itu bagi korban kejahatan baik secara kolektif maupun individual harus dapat diberikan upaya hukum, dan berdasarkkan yurisprudensi di atas, maka upaya hukum yang dimungkinkan adalah Peninjauan Kembali.

D. Doktrin tersebut sejalan pula dengan asas Legalitas serta penerapan asas keseimbangan hak Asas antara kepentingan perseorangan / terdakwa (Termohon Peninjauan Kembali) dengan Kepentingan Umum, Bangsa dan Negara, yang dalam hal ini diwakili oleh Jaksa penuntut Umum, di mana Jaksa Penuntut Umum juga harus diberi kesempatan yang sama, untuk mengajukan Peninjauan Kembali terhadap putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yang merupakan putusan bebas atau dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Alasan ini sesuai dengan konsep daad-dader-strafrecht yang oleh Prof. Muladi disebut model keseimbangan kepentingan, yaitu model realistis yang memperhatikan pelbagai kepentingan yang harus dilindungi hukum pidana yaitu kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban kejahatan.

E.  Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 / 2004 berbunyi “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-Undang”. Pasal 23 ini mengatur tentang peninjauan Kembali baik dalam perkara pidana mauoun perdata. Dalam perkara perdata jelas yang dimaksud dengan pihak-pihak adalah Penggugat dan Tergugat, Dalam perkara pidana pihak-pihak adalah Jaksa Penuntut Umum dan Terdakwa.
Dari ketentuan tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dimana terdakwa dijatuhi putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, maka jaksa Penuntut Umumlah sebagai pihak yang dapat mengajukan Peninjauan Kembali, karena terpidana yang juga sebagai pihak yang berkepentingan tentu tidk mungkin mengajukan permohonan Peninjauan Kembali terhadap putuasn demikian, karena pasal 263 ayat (1) melarangnya dan dalam logika tidak mungkin seorang diputus bebas atau lepas dari tuntutan hukum mengajukan Peninjauan kembali.
Ketentuan tersebut sejalan dengan ketentuan pasal 263 ayat (3) KUHAP yang menyatakan bahwa “Atas dasar yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2), terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan Peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan”.
Ketentuan pasal 263 ayat (3) ini tentu/pasti bukan diperuntukkan bagi terdakwa yang telah tidak dijatuhi pemidanaan oleh putusan pengadilan. Di sini jelas yang dimaksud untuk mengajukan Peninjauan Kembali untuk perkara yang dakwaannya dinyatakan terbukti, tetapi tidak diikuti pemidanaan adalah Jksa Penunut Umum bukna terpidana karena di sini tidak ada terpidana.
Apabila ketentuan pasal 263 ayat (2) hanya dibaca secara satute aproach harafiah, mak seorang yang dijatuhi putusan bebas ataupun lepas dari segala tuntutan hukum, walaupun kemudian ditemukan novum dalam bentuk bukti-bukti baru yang dapat dipergunakan untuk membuktikan perbuatan pidana dan kesalahan terdakwa, maka terhadap terdakwa tidak lagi dapat diapa-apakan. Hal ini tentu akan bertentangan dengan rasa keadilan, di mana seorang terdakwa yang telah melakukan tindak pidana, apalagi suatu tindak pidana besa, tidak dapat dihukum karena suatu alasan yang bersifat formal.
Untuk dapat memenuhi rasa keadilan, maka pasal tersebut hendaknya dibaca dengan menggunakan konstruksi hukum dalam bentuk argumentum acontrario, yaitu membaca ketentuan tersebut dari sisi lain, yaitu dari sisi kesebalikannya. Dengan demikian akan dapat dibaca dan dipahami, bahwa terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, di mana kemudian ditemukan novum, maka dapat diajukan permohonan Peninjauan Kembali.
Di samping itu, pasal 263 KUHAP, sama sekali tidak melarang Jaksa penuntut Umum untuk mengajukan Penijauan Kembali, sehingga oleh karenanya Jaksa Penuntut Umum dapat mengajukan Peninjauan kembali.

F. Betitik tolak pada motivasi dan hal-hal sebagaimana telah diuraikan di atas, demi mengejar tercapainya kebenaran dan keadilan hakiki yang lebih maksimal. Mahkamah Agung telah menerapkan ekstensive interpretation terhadap ketentuan Pasal 263 KUHAP, dengan menerima beberapa beberpa permohonan Peninjauan Kembali yang diajkan oleh Jaksa Penuntut Umum yaitu : dalam perkara atas nama terdakwa Muchtar pakpahan (putusan MA Nomor : 55PK/Pid/1996 tanggal 25 Okttober 1996), dalam perkara atas nama terdakwa ram Gulumal alias V. Ram (Putusan MA Nomor: 3PK/Pid/2001 tanggal 2 Agustus 2001) dan dalam perkara terdakwa Soettiyawati alias Ahua binti Kartaningsih (Putusan MA Nomor: 15PK/Pid/2006 tanggal 9 Juni 2006).

G. Meskipun hukum acara pidana tidak menganut asas star decisis atau the bindig force of precedent, namun untuk memelihara keseragaman putusan (Consistency in court decision), Majelis Hakim Agung dalam perkara peninjauan Kembali berikutnya telah cenderung mengikuti putusan perkara Peninjauan Kembali yang diberikan oleh Majelis Hakim Agung terdahulu, karena putusan-putusan a quo merupakan pedoman dalam memeriksa da mengadili perkara yang sama, sekaligus merupakan sumber hukum dan pembentukan hukum.


Bahwa selain hal tersebut diatas, dalam negara hukum yang paling berwenang menafsirkan hukum adalah "Hakim" apalagi MA sebagai Institusi Pengadilan Tertinggi di Indonesia. Hukum Acara Pidana itu bukanlah "delik" hingga bisa saja ditafsirkan secara luas oleh Hakim (saya sependapat dengan M.Yahya Hrp tentang penafsiran KUHAP, dalam buku karangannya). KUHAP sendiri tidak ada melarang JAkSA untuk PK, apakah dengan demikian Jaksa tidak boleh PK ? seperti halnya Putusan Bebas tidak boleh di Kasasi namun akhirnya ditafsirkan boleh karena demi "kebenaran dan Keadilan" (hal yang menjadi tujuan Hukum acara pidana). kalau dipandang secara Filosofis, tujuan PK adalah untuk meninjau kembali perkara tersebut apakah hukum sudah benar diterapkan atau ada hal-hal baru yang baru diketahui setelah peradilan selesai diputus. seorang terdakwa diizinkan untuk PK dengan alasan "untuk memperbaiki putusan hingga menguntungkan dirinya" lalu sebaliknya mengapa jaksa tidak boleh ? ingat jaksa adalah "wakil masyarakat" untuk menegakkan hukum, dalam negara hukum kepentingan masyarakat itu lebih besar kadarnya daripada kepentingan perseorangan. Bagaimana Jika Hakim ternyata keliru dalam putusannya, jelas masyarakat dirugikan kepentingan hukumnya yang mana jaksa yang mewakili mereka. saya berpendapat jaksa boleh PK dengan syarat sebagaimana yang juga bisa dilakukan oleh terdakwa apabila suatu putusan telah dibebaskan hakim (terbukti atau tidak) namun ternyata ada ditemukan bukti baru yang relevan terhadap suatu perkara itu, yang mana Hakim yang harus menentukan bukti baru itu apakah sah atau tidak. Tujuan dibolehkannya PK bagi Jaksa juga untuk mencari Kebenaran dan Keadilan (ditinjau dari sudut Masyarakat)
Berkenaan dengan hal-hal yang telah kami uraikan di atas saya berpendapat ; Jaksa Penuntut Umum dapat dan berhak untuk mengajukan peninjauan kembali.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar