KEKHUSUSAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA
KORUPSI.
Tindak pidana korupsi disebut juga sebagai extraordinary crime yang sangat merugikan
keuangan dan perekonomian negara serta pelaksanaan pembangunan nasional.
Berbagai usaha telah dilakukan untuk mengatasi tindak pidana korupsi. Salah
satu usaha tersebut adalah dengan dikeluarkannya berbagai peraturan
perundang-undangan antikorupsi (undang-undang khusus).
Tindak
pidana korupsi merupakan tindak pidana khsusus
yang diatur dalam undang-undang hukum pidana yang khusus, yaitu
undang-undang No. 31 tahun 1999 kemudian diubah menjadi Undang-undang Nomor 20 tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (UU Nomor 20 Tahun 2001). Ciri-ciri hukum pidana khusus,
terutama, yaitu menyimpang dari asas-asas yang diatur dalam undang-undang hukum
pidana umum. Hukum pidana umum dibagi dua, yaitu formil dan materil. Sehingga
hukum pidana khusus dapat memiliki dua macam penyimpangan, yaitu penyimpangan
secara formil dan materil. Hukum pidana umum dari sudut materil mengenai tindak
pidana korupsi diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dan,
peraturan umum dari sudut formil mengenai tindak pidana korupsi diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam hal ini maka berlaku
adagium lex
specialis derogat legi generalis (ketentuan khusus menyingkirkan ketentuan umum).
Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (UU No. 3 Tahun 1971,
UU No. 31 Tahun 1999, dan UU No. 20 Tahun 2001) merupakan undang-undang hukum
pidana khusus. Ciri-ciri hukum pidana khusus, antara lain:
a.
Memuat satu jenis tindak pidana, dalam hal ini adalah
tindak pidana khusus
b.
Mengatur tidak saja hukum pidana materil tetapi juga
sekaligus hukum pidana formil.
c.
Terdapat penyimpangan asas.
KUHP
telah mengatur tentang berapa perbuatan yang merupakan korupsi. Namun
pengaturan tentang tindak pidana korupsi yang ada dalam KUHP dipandang tidak
cukup efektif, oleh karena itu
lahirlah Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang Pusat Nomor
Prt/Peperu/013/1958, kemudian Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (UU Nomor 3 Tahun 1971) yang lahir dari perbaikan
Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi (UU Nomor 24 Tahun 1960), yang kesemuanya merupakan salah satu wujud dari usaha
tersebut.
Semangat
reformasi tahun 1998 mendorong perbaikan
di segala bidang, juga salah satunya adalah undang-undang antikorupsi. Dimulai
dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan
Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih
dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Nomor 31 Tahun 1999) yang
menggantikan UU Nomor 3 Tahun 1971. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 kemudian
diubah menjadi Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU
Nomor 20 Tahun 2001)[1]
untuk lebih menciptakan perbaikan tersebut.
Dalam
sistem hukum yang berlaku di Indonesia, perangkat normatif hukum pidana
tersebut selain dikodifikasi dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP),
juga terdapat dalam berbagai peraturan perundangundangan yang berlaku sebagai
hukum positif. Salah satu undang-undang yang tidak terkodifikasi dalam KUHP
adalah Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang kemudian dilakukan perubahan melalui Undang-undang Nomor 20 tahun
2001. Kata kunci untuk hal ini ialah
Pasal 103 KUHP yang mengatakan bahwa ketentuan umum KUHP, kecuali Bab IX
(intepretasi istilah) berlaku juga terhadap perbuatan yang menurut
undang-undang dan peraturan laindiancam dengan pidana, kecuali ditentukan lain
oleh undang-undang. Maksudnya ialah Pasal 1 sampai dengan 85 Buku I KUHP
tentang Ketentuan Umum berlaku juga bagi perbuatan yang diancam dengan pidana
berdasarkan undang-undang atau peraturan lain diluar KUHP, kecuali
undang-undang atau peraturan itu menyimpang.
Sedangkan untuk hukum pidana formil, kemungkinan dilakukannya penyimpangan dari
apa yang telah diatur dalam KUHAP, dapat ditemukan dalam Pasal 284 KUHAP jo
bagian penjelasan.
[1]Mahkamah
Konstitusi melalui putusannya nomor
003/Peraturan Perundang-undangan-IV/2006, 24 Juli 2006 telah membatalkan
Pasal 2 ayat (1) dan penjelasannya,
Pasal 3 ayat (1) dan penjelasannya serta Pasal 15 (sepanjang mengenai kata percobaan) UU nomor
31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001.
Pembatalan dikarenakan Pasal-Pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar