TINDAK
PIDANA
a. PENGERTIAN TINDAK PIDANA
Hingga
saat ini belum ada kesepakatan para sarjana tentang pengertian Tindak pidana (strafbaar feit). Menurut
Prof. Moeljatno S.H., Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu, bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut.
Terdapat
3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan :
·
Perbuatan pidana adalah
perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana.
·
Larangan ditujukan kepada
perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan
orang), sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan
kejadian itu.
·
Antara larangan dan ancaman
pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang
menimbulkan kejadian itu ada hubungan erat pula. “ Kejadian tidak dapat dilarang
jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana jika
tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya”.
Selanjutnya
Moeljatno membedakan dengan tegas dapat dipidananya perbuatan (die strafbaarheid van het feit) dan
dapat dipidananya orang (strafbaarheid
van den person). Sejalan dengan itu memisahkan pengertian perbuatan pidana (criminal act) dan pertanggungjawaban
pidana (criminal responsibility).
Pandangan ini disebut pandangan dualistis yang sering dihadapkan dengan
pandangan monistis yang tidak membedakan keduanya.
b. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA
Dalam
suatu peraturan perundang-undangan pidana selalu mengatur tentang tindak
pidana. Sedangkan menurut Moeljatno “Tindak
pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana
disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang
melanggar larangan tersebut”. Untuk mengetahui adanya tindak pidana, maka
pada umumnya dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan pidana tentang
perbuatan-perbuatan yang dilarang dan disertai dengan sanksi. Dalam rumusan
tersebut ditentukan beberapa unsur atau syarat yang menjadi ciri atau sifat
khas dari larangan tadi sehingga dengan jelas dapat dibedakan dari perbuatan
lain yang tidak dilarang. Perbuatan pidana menunjuk kepada sifat perbuatannya
saja, yaitu dapat dilarang dengan ancaman pidana kalau dilanggar.
Menurut
Simons, unsur-unsur tindak pidana (strafbaar
feit) adalah :
·
Perbuatan manusia (positif atau negative, berbuat atau tidak
berbuat atau membiarkan).
·
Diancam dengan pidana (statbaar gesteld)
·
Melawan hukum (onrechtmatig)
·
Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand)
·
Oleh orang yang mampu
bertanggung jawab (toerekeningsvatoaar
person).
Simons
juga menyebutkan adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari tindak pidana (strafbaar feit).
Unsur
Obyektif :
Ø Perbuatan
orang
Ø Akibat
yang kelihatan dari perbuatan itu.
Ø Mungkin
ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam pasal 281 KUHP
sifat “openbaar” atau “dimuka umum”.
Unsur
Subyektif :
Ø Orang
yang mampu bertanggung jawab
Ø Adanya
kesalahan (dollus atau culpa).
Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan.
Kesalahan
ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan mana
perbuatan itu dilakukan.
Sementara
menurut Moeljatno unsur-unsur perbuatan pidana :
Ø Perbuatan
(manusia)
Ø Yang
memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil)
Ø Bersifat
melawan hukum (syarat materiil)
Unsur-unsur
tindak pidana menurut Moeljatno terdiri dari :
1) Kelakuan
dan akibat
2) Hal
ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, yang dibagi menjadi :
a. Unsur
subyektif atau pribadi
Yaitu mengenai diri orang yang melakukan perbuatan,
misalnya unsur pegawai negeri yang diperlukan dalam delik jabatan seperti dalam
perkara tindak pidana korupsi. Pasal 418 KUHP jo. Pasal 1 ayat (1) sub c UU No.
3 Tahun 1971 atau pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001
tentang pegawai negeri yang menerima hadiah. Kalau yang menerima hadiah bukan
pegawai negeri maka tidak mungkin diterapka pasal tersebut
b. Unsur
obyektif atau non pribadi
Yaitu mengenai keadaan di luar si pembuat, misalnya pasal
160 KUHP tentang penghasutan di muka umum (supaya melakukan perbuatan pidana
atau melakukan kekerasan terhadap penguasa umum). Apabila penghasutan tidak
dilakukan di muka umum maka tidak mungkin diterapkan pasal ini
Unsur
keadaan ini dapat berupa keadaan yang menentukan, memperingan atau memperberat
pidana yang dijatuhkan.
(1) Unsur
keadaan yang menentukan misalnya dalam pasal 164, 165, 531 KUHP
Pasal 164 KUHP
: barang siapa mengetahui permufakatan
jahat untuk melakukan kejahatan tersebut pasal 104, 106, 107, 108, 113, 115,
124, 187 dan 187 bis, dan pada saat kejahatan masih bisa dicegah dengan sengaja
tidak memberitahukannya kepada pejabat kehakiman atau kepolisian atau kepada
yang terancam, diancam, apabila kejahatan jadi dilakukan, dengan pidana penjara
paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
Kewajiban
untuk melapor kepada yang berwenang, apabila mengetahui akan terjadinya suatu
kejahatan. Orang yang tidak melapor baru dapat dikatakan melakukan perbuatan
pidana, jika kejahatan tadi kemudian betul-betul terjadi. Tentang hal kemudian
terjadi kejahatan itu adalah merupakan unsur tambahan.
Pasal 531 KUHP
: barang siapa ketika menyaksikan bahwa
ada orang yang sedang menghadapi maut, tidak memberi pertolongan yang dapat
diberikan kepadanya tanpa selayaknya menimbulkan bahaya bagi dirinya atau orang
lain, diancam, jika kemudian orang itu meninggal, dengan pidana kurungan paling
lama tiga bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
Keharusan
memberi pertolongan pada orang yang sedang menghadapi bahaya maut jika tidak memberi pertolongan,
orang tadi baru melakukan perbuatan pidana, kalau orang yang dalam keadaan
bahaya tadi kemudian lalu meninggal dunia. Syarat tambahan tersebut tidak
dipandang sebagai unsur delik (perbuatan pidana) tetapi sebagai syarat
penuntutan.
(2) Keadaan
tambahan yang memberatkan pidana
Misalnya
penganiayaan biasa pasal 351 ayat (1) KUHP diancam dengan pidana penjara paling
lama 2 tahun 8 bulan. Apabila penganiayaan tersebut menimbulkan luka berat;
ancaman pidana diperberat menjadi 5 tahun (pasal 351 ayat 2 KUHP), dan jika
mengakibatkan mati ancaman pidana menjad 7 tahun (pasal 351 ayat 3 KUHP). Luka
berat dan mati adalah merupakan keadaan tambahan yang memberatkan pidana
(3) Unsur
melawan hukum
Dalam
perumusan delik unsur ini tidak selalu dinyatakan sebagai unsur tertulis.
Adakalanya unsur ini tidak dirumuskan secara tertulis rumusan pasal, sebab
sifat melawan hukum atau sifat pantang dilakukan perbuatan sudah jelas dari
istilah atau rumusan kata yang disebut. Misalnya pasal 285 KUHP : “dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh di luar
perkawinan”. Tanpa ditambahkan kata melawan hukum setiap orang mengerti bahwa
memaksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan adalah pantang dilakukan atau
sudah mengandung sifat melawan hukum. Apabila dicantumkan maka jaksa harus
mencantumkan dalam dakwaannya dan oleh karenanya harus dibuktikan. Apabila
tidak dicantumkan maka apabila perbuatan yang didakwakan dapat dibuktikan maka
secara diam-diam unsure itu dianggap ada.
Unsur
melawan hukum yang dinyatakan sebagai unsur tertulis misalnya pasal 362 KUHP
dirumuskan sebagai pencurian yaitu pengambilan barang orang lain dengan maksud
untuk memilikinya secara melawan hukum.
Pentingnya
pemahaman terhadap pengertian unsur-unsur tindak pidana. Sekalipun permasalahan
tentang “pengertian” unsur-unsur tindak pidana bersifat teoritis, tetapi dalam
praktek hal ini sangat penting dan menentukan bagi keberhasilan pembuktian
perkara pidana. Pengertian unsur-unsur tindak pidana dapat diketahui dari
doktrin (pendapat ahli) ataupun dari yurisprudensi yan memberikan penafsiran
terhadap rumusan undang-undang yang semula tidak jelas atau terjadi perubahan
makna karena perkembangan jaman, akan diberikan pengertian dan penjelasan
sehingga memudahkan aparat penegak hukum menerapkan peraturan hukum.
Bagi
Jaksa pentingnya memahami pengertian unsur-unsur tindak pidana adalah :
1) Untuk
menyusun surat dakwaan, agar dengan jelas;
2) Dapat
menguraikan perbuatan terdakwa yang menggambarkan uraian unsur tindak pidana
yang didakwakan sesuai dengan pengertian / penafsiran yang dianut oleh doktrin
maupun yurisprudensi;
3) Mengarahkan
pertanyaan-pertanyaan kepada saksi atau ahli atau terdakwa untuk menjawab
sesuai fakta-fakta yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan;
4) Menentukan
nilai suatu alat bukti untuk membuktikan unsur tindak pidana. Biasa terjadi
bahwa suatu alat bukti hanya berguna untuk menentukan pembuktian satu unsur
tindak pidana, tidak seluruh unsur tindak pidana;
5) Mengarahkan
jalannya penyidikan atau pemeriksaan di sidang pengadilan berjalan secara
obyektif. Dalil-dalil yang digunakan dalam pembuktian akan dapat
dipertanggungjawabkan secara obyektif karena berlandaskan teori dan bersifat
ilmiah;
6) Menyusun
requisitoir yaitu pada saat uraian penerapan fakta perbuatan kepada unsur-unsur
tindak pidana yang didakwakan, atau biasa diulas dalam analisa hukum, maka
pengertian-pengertian unsur tindak pidana yang dianut dalam doktrin atau
yurisprudensi atau dengan cara penafsiran hukum, harus diuraikan
sejelas-jelasnya karena ini menjadi dasar atau dalil untuk berargumentasi.
c. JENIS-JENIS TINDAK PIDANA
Di
bawah ini akan disebut berbagai pembagian jenis delik :
1.
Kejahatan
dan Pelanggaran
Pembagian
delik atas kejahatan dan pelanggaran ini disebut oleh undang-undang. KUHP buku
ke II memuat delik-delik yang disebut : pelanggaran criterium apakah yang
dipergunakan untuk membedakan kedua jenis delik itu ? KUHP tidak memberi
jawaban tentang hal ini. Ia hanya membrisir atau memasukkan dalam kelompok
pertama kejahatan dan dalam kelompok kedua pelanggaran.
Tetapi
ilmu pengetahuan mencari secara intensif ukuran (kriterium) untuk membedakan
kedua jenis delik itu.
Ada
dua pendapat :
a. Ada
yang mengatakan bahwa antara kedua jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat
kwalitatif. Dengan ukuran ini lalu didapati 2 jenis delik, ialah :
1. Rechtdelicten
Ialah
yang perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu
diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak, jadi yang benar-benar
dirasakan oleh masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan misal :
pembunuhan, pencurian. Delik-delik semacam ini disebut “kejahatan” (mala perse).
2. Wetsdelicten
Ialah
perbuatan yang oleh umum baru disadari sebagai tindak pidana karena
undang-undang menyebutnya sebagai delik, jadi karena ada undang-undang
mengancamnya dengan pidana. Misal : memarkir mobil di sebelah kanan jalan (mala
quia prohibita). Delik-delik semacam ini disebut “pelanggaran”. Perbedaan
secara kwalitatif ini tidak dapat diterima, sebab ada kejahatan yang baru
disadari sebagai delik karena tercantum dalam undang-undang pidana, jadi
sebenarnya tidak segera dirasakan sebagai bertentangan dengan rasa keadilan.
Dan sebaliknya ada “pelanggaran”, yang benar-benar dirasakan bertentangan
dengan rasa keadilan. Oleh karena perbedaan secara demikian itu tidak memuaskan
maka dicari ukuran lain.
b. Ada
yang mengatakan bahwa antara kedua jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat
kwantitatif. Pendirian ini hanya meletakkan kriterium pada perbedaan yang
dilihat dari segi kriminologi, ialah “pelanggaran” itu lebih ringan dari pada
“kejahatan”.
Mengenai
pembagian delik dalam kejahatan dan pelanggaran itu terdapat suara-suara yang
menentang. Seminar Hukum Nasional 1963 tersebut di atas juga berpendapat, bahwa
penggolongan-penggolongan dalam dua macam delik itu harus ditiadakan.
Kejahatan
ringan :
Dalam
KUHP juga terdapat delik yang digolongkan sebagai kejahatan-kejahatan misalnya
pasal 364, 373, 375, 379, 382, 384, 352, 302 (1), 315, 407.
2. Delik formil dan delik
materiil (delik dengan perumusan secara formil dan delik dengan perumusan
secara materiil)
a. Delik
formil itu adalah delik yang perumusannya dititikberatkan kepada perbuatan yang
dilarang. Delik tersebut telah selesai dengan dilakukannya perbuatan seperti
tercantum dalam rumusan delik. Misal :
penghasutan (pasal 160 KUHP), di muka umum menyatakan perasaan kebencian,
permusuhan atau penghinaan kepada salah satu atau lebih golongan rakyat di
Indonesia (pasal 156 KUHP); penyuapan (pasal 209, 210 KUHP); sumpah palsu
(pasal 242 KUHP); pemalsuan surat (pasal 263 KUHP); pencurian (pasal 362 KUHP).
b. Delik
materiil adalah delik yang perumusannya dititikberatkan kepada akibat yang
tidak dikehendaki (dilarang). Delik ini
baru selesai apabila akibat yang tidak dikehendaki itu telah terjadi. Kalau
belum maka paling banyak hanya ada percobaan. Misal : pembakaran (pasal 187
KUHP), penipuan (pasal 378 KUHP), pembunuhan (pasal 338 KUHP). Batas antara
delik formil dan materiil tidak tajam misalnya pasal 362.
3. Delik commisionis, delik
ommisionis dan delik commisionis per ommisionen commissa
a. Delik
commisionis : delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, ialah berbuat sesuatu
yang dilarang, pencurian, penggelapan, penipuan.
b. Delik
ommisionis : delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah, ialah tidak
melakukan sesuatu yang diperintahkan / yang diharuskan, misal : tidak menghadap
sebagai saksi di muka pengadilan (pasal 522 KUHP), tidak menolong orang yang
memerlukan pertolongan (pasal 531 KUHP).
c. Delik
commisionis per ommisionen commissa : delik yang berupa pelanggaan larangan
(dus delik commissionis), akan tetapi dapa dilakukan dengan cara tidak berbuat.
Misal : seorang ibu yang membunuh anaknya dengan tidak memberi air susu (pasal
338, 340 KUHP), seorang penjaga wissel yang menyebabkan kecelakaan kereta api
dengan sengaja tidak memindahkan wissel (pasal 194 KUHP).
4.
Delik
dolus dan delik culpa (doleuse en culpose delicten)
a. Delik
dolus : delik yang memuat unsur kesengajaan, misal : pasal-pasal 187, 197, 245,
263, 310, 338 KUHP
b. Delik
culpa : delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsur misal : pasal 195,
197, 201, 203, 231 ayat 4 dan pasal 359, 360 KUHP.
5.
Delik
tunggal dan delik berangkai (enkelvoudige en samenge-stelde delicten)
a. Delik
tunggal : delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali.
b. Delik
berangkai : delik yang baru merupakan delik, apabila dilakukan beberapa kali
perbuatan, misal : pasal 481 (penadahan sebagai kebiasaan)
6. Delik yang berlangsung terus
dan delik selesai (voordurende en aflopende delicten)
Delik
yang berlangsung terus : delik yang mempunyai ciri bahwa keadaan terlarang itu
berlangsung terus, misal : merampas kemerdekaan seseorang (pasal 333 KUHP).
7.
Delik
aduan dan delik laporan (klachtdelicten en niet klacht delicten)
Delik
aduan : delik yang penuntutannya hanya dilakukan apabila ada pengaduan dari
pihak yang terkena (gelaedeerde partij) misal : penghinaan (pasal 310 dst. jo
319 KUHP) perzinahan (pasal 284 KUHP), chantage (pemerasan dengan ancaman
pencemaran, ps. 335 ayat 1 sub 2 KUHP jo. ayat 2). Delik aduan dibedakan
menurut sifatnya, sebagai :
a. Delik
aduan yang absolut, ialah mis. : pasal 284, 310, 332. Delik-delik ini menurut
sifatnya hanya dapat dituntut berdasarkan pengaduan.
b. Delik
aduan yang relative ialah mis. : pasal 367, disebut relatif karena dalam
delik-delik ini ada hubungan istimewa antara si pembuat dan orang yang terkena.
Catatan
: perlu dibedakan antara aduan den gugatan dan laporan. Gugatan dipakai dalam
acara perdata, misal : A menggugat B di muka pengadilan, karena B tidak
membayar hutangnya kepada A. Laporan hanya pemberitahuan belaka tentang adanya
sesuatu tindak pidana kepada Polisi atau Jaksa.
8.
Delik
sederhana dan delik yang ada pemberatannya / peringannya (eenvoudige dan
gequalificeerde / geprevisilierde delicten)
Delik
yang ada pemberatannya, misal : penganiayaan yang menyebabkan luka berat atau
matinya orang (pasal 351 ayat 2, 3 KUHP), pencurian pada waktu malam hari dsb.
(pasal 363). Ada delik yang ancaman pidananya diperingan karena dilakukan dalam
keadaan tertentu, misal : pembunuhan kanak-kanak (pasal 341 KUHP). Delik ini
disebut “geprivelegeerd delict”. Delik sederhana; misal : penganiayaan (pasal
351 KUHP), pencurian (pasal 362 KUHP).
9. Delik ekonomi (biasanya
disebut tindak pidana ekonomi) dan bukan delik ekonomi
Apa
yang disebut tindak pidana ekonomi itu terdapat dalam pasal 1 UU Darurat No. 7
tahun 1955, UU darurat tentang tindak pidana ekonomi.
d. SUBYEK TINDAK PIDANA
Sebagaimana
diuraika terdahulu, bahwa unsur pertama tindak pidana itu adalah perbuatan
orang, pada dasarnya yang dapat melakukan tindak pidana itu manusia (naturlijke
personen). Ini dapat disimpulkan berdasarkan hal-hal sebagai berikut :
a. Rumusan
delik dalam undang-undang lazim dimulai dengan kata-kata : “barang siapa yang
…….”. Kata “barang siapa” ini tidak dapat diartikan lain dari pada “orang”.
b. Dalam
pasal 10 KUHP disebutkan jenis-jenis pidana yang dapat dikenakan kepada tindak
pidana, yaitu :
1. pidana
pokok :
a. pidana
mati
b. pidana
penjara
c. pidana
kurungan
d. pidana
denda, yang dapat diganti dengan pidana kurungan
2. pidana
tambahan :
a. pencabutan
hak-hak tertentu
b. perampasan
barang-barang tertentu
c. dimumkannya
keputusan hakim
Sifat
dari pidana tersebut adalah sedemikian rupa, sehingga pada dasarnya hanya dapat
dikenakan pada manusia.
c. Dalam
pemeriksaan perkara dan juga sifat dari hukum pidana yang dilihat ada /
tidaknya kesalahan pada terdakwa, memberi petunjuk bahwa yang dapat
dipertanggungjawabkan itu adalah manusia.
d. Pengertian
kesalahan yang dapat berupa kesengajaan dan kealpaan itu merupakan sikap dalam
batin manusia.
Dalam
perkembangannya apakah kecuali manusia tidak ada sesuatu yang dapat melakukan
tindak pidana misalnya badan hukum ? dalam KUHP terdapat pasal yang seakan-akan
menyinggung soal ini, ialah pasal 59. Pasal ini tidak menunjuk ke arah dapat
dipidana suatu badan hukum, suatu perkumpulan atau badan (korporasi) lain.
Menurut pasal ini yang dapat dipidana adalah orang yang melakukan sesuatu
fungsi dalam sesuatu korporasi. Seorang anggota pengurus dapat membebaskan
diri, apabila dapat membuktikan bahwa pelanggaran itu dilakukan tanpa ikut
campurnya.
Keterangan
: di dalam hukum acara, ini disebut “pembalikan beban pembuktian” (omkering van
bewijslast).
Dalam
KUHP juga ada pasal lain yang kelihatannya juga menyangkut korporasi sebagai
subyek hukum, akan tetapi disinipun yang diancam pidana adalah orang, buka
korporasinya. Vide pasal 169 : “ikut serta dalam perkumpulan yang terlarang”,
dan juga pasal 398 dan 399, mengenai pengurus atau komisaris perseroan terbatas
dan sebagainya yang dalam keadaan pailit merugikan perseroannya.
Bahwasanya
yang menjadi subyek tindak pidana itu adalah manusia, sesuai dengan penjelasan (M.v.T)
terhadap pasal 59 KUHP, yang berbunyi : “suatu tindak pidana hanya dapat
dilakukan oleh manusia”. Akan tetapi ajaran ini sudah ditinggalkan. Dalam hukum
positip Indonesia, misalnya dalam “ordonansi barang-barang yang diawasi”
(S.1948-144) dan “Ordonansi pengendalian harga” (S.1948-295) terdapat ketentuan
yang mengatur apabila suatu badan (hukum) melakuka tindak pidana yang disebut
dalam ordonansi-ordonansi itu. Ordonansi obat bius S. 27-278 jo. 33-368 pasal
25 ayat 7. Atau dalam UU Darurat tentang pengusutan, penuntutan dan peradilan
tindak pidana ekonomi (UU Darurat No. 7 tahun 1955 pasal 15 dimana dalam ayat 1
dan 2 dengan tegas menyebutkan bahwa badan hukum dapat menjadi subyek hukum
pidana.
Pompe
(hal. 83) menyatakan mengenai persoalan ini (terjemahan) “Untuk sebagian
peradilan dengan dibantu oleh ilmu pengetahuan hukum harus menemukan sendiri
penyelesaian untuk problem dalam materi baru ini”.
Van
Hattum (hal. 147) : “agaknya perlu untuk menggambarkan pertumbuhan ajaran ini
agak lebih luas dari pada biasanya dalam buku pelajaran, sebab peradilan
terhadap badan hukum kiranya akan menduduki tempat yang penting dalam hukum
pidana kita. Persoalan mengenai penyertaan dan kesalahan dalam pada itu akan
kerap kali menjadi sumber perbedaan pendapat”.
Dalam
pada itu sekarang suda pasti, bahwa menurut Hoge Raad, korporasi dapat melakukan
tindak pidana, ya bahkan kadang-kadang korporasi sajalah yang dapat menjadi
pembuat, bahwa korporasi dapat mempunyai kesalahan dan bahkan mereka itu dapat
mengemukakan alasan tidak adanya kesalahan sama sekali”. Dan dalam hal. 477 van
Hattum menulis a.l. : (terjemahan) …………. sebaiknya pembentuk undang-undang
membuat ketentuan-ketentuan umum dalam hal suatu tindak pidana dilakukan oleh
suatu korporasi.
terima kasih kak sangat bermanfaat
BalasHapus