Kamis, 14 Juni 2012

Kekhususan Delik Korupsi dari Sudut Hukum Pidana Formil




     Kekhususan Delik Korupsi dari Sudut Hukum Pidana Formil

Hukum pidana formil adalah serangkaian aturan hukum pidana yang mengatur bagaimana cara mempertahankan atau prosedur untuk menuntut kemuka pengadilan orang-orang yang disangka melakukan perbuatan pidana (criminal procedure). Sebagaimana layaknya KUHP maupun perundang-undangan lain yang merupakan hukum pidana materil, UU No. 31 tahun 1999 dan UU No. 20 tahun 2001 memerlukan hukum formil atau hukum acara. Hukum acara ini berfungsi untuk mengatur bagaimana caranya hukum materil tersebut dipertahankan atau diterapkan dalam hal terjadi tindak pidana korupsi yang pada prinsipnya berisi ketentuan tentang penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan. Sepanjang menyangkut hukum acara, Pasal 26 UU No. 31 tahun 1999 menentukan hukum acara yang dipakai adalah hukum acara pidana yang berlaku kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. Sebagaimana diketahui, sejak tanggal 31 Desember 1981 hukum acara pidana umum yang berlaku di Indonesia adalah Undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sedangkan beberapa ketentuan mengenai hukum acara pidana yang ditentukan lain terdapat pada beberapa Pasal dalam UU No. 31 tahun 1999 dan UU No. 20 tahun 2001 yang antara lain mengatur tentang[1]:

a.   Prioritas Penyelesaian Perkara Korupsi

Menurut ketentuan dalam Pasal 25 UU No. 31 tahun 1999 proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya. Prioritas penyelesaian perkara pidana seperti yang diatur dalam ketentuan ini tidak dikenal dalam KUHAP, kecuali menyangkut hak tersangka untuk segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum sebagaimana diatur dalam Pasal 50 ayat (1) KUHAP dan kewajiban Ketua Pengadilan Negeri untuk menunjuk hakim setelah Pengadilan Negeri menerima surat pelimpahan perkara yang bersangkutan (Pasal 152 ayat (1) KUHAP).

b.   Perluasan Sumber Alat Bukti Petunjuk

Dalam Pasal 26 A UU No. 20 tahun 2001 diatur mengenai perluasan sumber alat bukti petunjuk, yaitu selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP, juga dapat diperoleh melalui informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan serat optik atau sejenisnya dan dokumen yang berupa rekaman data yang dapat dijabat, dibaca, atau didengar dengan bantuan sarana lain atau tidak baik yang tertuang di atas kertas dan benda fisik lainnya maupun yang terekam secara elektronik berupa tulisan, suara, gambar, rancangan, foto, huruf, tanda, angka atau perforasi yang memiliki makna. Lebih jauh, dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyatakan bahwa informasi elektronik (termasuk suara hasil penyadapan) merupakan alat bukti hukum yang sah.

c.     Keleluasaan Penyidik

Sebagaimana diatur dalam Pasal 30 UU No. 31 tahun 1999, penyidik dalam perkara korupsi berhak membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos, telekomunikasi, atau alat lainnya yang dicurigai berhubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa. Sedangkan menurut Pasal 47 ayat (1) KUHAP pemeriksaan dan penyitaan surat dan kiriman tersebut hanya dapat dilakukan dengan ijin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat.

d.     Maksimalisasi Upaya Pengembalian Kerugian Negara

Dalam Pasal 32 ayat (1) UU No. 31 tahun 1999 disebutkan apabila hasil penyidikan tidak memberikan cukup bukti adanya tindak pidana korupsi sedangkan secara nyata terdapat kerugian negara, maka penyidik menyerahkan hasil penyidikannya kepada pengacara negara untuk dilakukan gugatan secara perdata. Sedangkan dalam Pasal 32 ayat (2) disebutkan putusan bebas dalam perkara korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara. Kedua ketentuan tersebut tidak dikenal dalam hukum acara pidana biasa, kecuali dalam Pasal 67 KUHAP yang menyebutkan terdakwa atau penuntut umum berhak untuk mengajukan banding atas putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut kurang tepatnya masalah penetapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat. Selain itu menurut Pasal 100 ayat (1) KUHAP jika terjadi penggabungan perkara perdata dan perkara pidana, maka penggabungan tersebut dengan sendirinya terjadi dalam pemeriksaan tingkat banding. Ketentuan dalam Pasal 32 ayat (1) dan (2) UU No. 31 tahun 1999 tersebut tampaknya dimaksudkan untuk memaksimalkan upaya pengembalian kerugian negara akibat tindak pidana korupsi bahkan terhadap tersangka atau terdakwa yang pada saat proses penyidikan atau persidangan meninggal dunia, tetap dapat dilakukan gugatan perdata terhadap ahli waris tersangka atau terdakwa tersebut, sebagaimana diatur dalam Pasal 33 dan 34 Undang-undang No. 31 tahun 1999. Sedangkan menurut ketentuan Pasal 76, 77, dan 78 KUHP, yang menyebabkan tersangka atau terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum adalah ne bis in idem, tersangka atau terdakwa meninggal dunia, dan tindak pidana yang bersangkutan sudah kadaluarsa.

e.     Kewajiban Memberikan Kesaksian

Pasal 36 UU No. 31 tahun 1999 menyebutkan mengenai kewajiban memberikan kesaksian termasuk bagi mereka yang menurut pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, kecuali petugas agama yang menurut keyakinannya harus menyimpan rahasia. Sedangkan menurut ketentuan KUHAP, yaitu dalam Pasal 170 ayat (1) bagi orang-orang tersebut dapat meminta untuk dibebaskan sebagai saksi dalam suatu perkara pidana.

f.      Pengadilan in absentia

Menurut Pasal 38 UU No. 31 tahun 1999, jika terdakwa dalam perkara korupsi telah dipanggil secara sah tetapi tetap tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya (pengadilan in absentia). Sedangkan menurut hukum acara pidana biasa sebagaimana diatur dalam Pasal 154 dan 196 KUHAP, hadirnya terdakwa dalam persidangan dan pembacaan putusan hakim merupakan suatu keharusan, sehingga dalam Pasal ini juga diatur mulai dari pemanggilan terdakwa secara sah sampai upaya menghadirkan terdakwa secara paksa.

g.   Pembuktian Terbalik

Selain penuntut umum yang wajib membuktikan dakwaannya, menurut Pasal 38 B ayat (1) UU No. 20 tahun 2001 terdakwa tindak pidana korupsi wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Sistem pembuktian terbalik seperti ini tidak dikenal dalam proses perkara pidana biasa, kewajiban pembuktian dalam proses perkara pidana biasa sepenuhnya dibebankan kepada jaksa selaku penuntut umum. Walaupun sebenarnya sistem pembuktian terbalik ini seringkali mendapatkan kritik, karena undang-undang tindak pidana korupsi seolah-olah menganut “pembuktian terbalik” dimana terdakwa dapat membuktikan kalau dirinya tidak bersalah, tetapi pada akhirnya tetap kembali pada Penuntut Umum yang harus membuktikan bahwa terdakwa bersalah. Didalam KUHAP beban pembuktian hanya ada Penuntut Umum.

h.     Peran Serta Masyarakat

Dalam Pasal 41 dan 42 UU No. 31 tahun 1999 diatur mengenai peran serta masyarakat dalam membantu pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Guna  melaksanakan ketentuan Pasal 41 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (5) UU Nomor 31 Tahun 1999 tersebut maka dibentuk Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Peran serta masyarakat antara lain diimplementasikan dalam bentuk hak untuk mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi. Jika dibandingkan dengan ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) KUHAP, hak-hak tersebut merupakan kewenangan penyelidik yang dalam hal ini adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia sebagaimana ditentukan oleh Pasal 4 KUHAP. Sedangkan peran serta masyarakat, yaitu setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan atau menjadi korban tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik atau penyidik secara lisan maupun tertulis sebagaimana diatur dalam Pasal 108 ayat (1) KUHAP.

Orang akan takut akan melakukan tindak pidana korupsi jika penegak hukum benar-benar melaksanakan undang-undang tanpa pandang bulu. Equality before the law harus sungguh-sungguh dilaksanakan dan undang-undang tindak pidana korupsi ditegakkan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar