Kekhususan Delik Korupsi dari Sudut Hukum Pidana Formil
Hukum pidana formil adalah
serangkaian aturan hukum pidana yang mengatur bagaimana cara mempertahankan
atau prosedur untuk menuntut kemuka pengadilan orang-orang yang disangka
melakukan perbuatan pidana (criminal
procedure). Sebagaimana layaknya KUHP maupun perundang-undangan lain yang
merupakan hukum pidana materil, UU No. 31 tahun 1999 dan UU No. 20 tahun 2001
memerlukan hukum formil atau hukum acara. Hukum acara ini berfungsi untuk
mengatur bagaimana caranya hukum materil tersebut dipertahankan atau diterapkan
dalam hal terjadi tindak pidana korupsi yang pada prinsipnya berisi ketentuan
tentang penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan. Sepanjang
menyangkut hukum acara, Pasal 26 UU No. 31 tahun 1999 menentukan hukum acara
yang dipakai adalah hukum acara pidana yang berlaku kecuali ditentukan lain
dalam undang-undang ini. Sebagaimana diketahui, sejak tanggal 31 Desember 1981
hukum acara pidana umum yang berlaku di Indonesia adalah Undang-undang No. 8
tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sedangkan
beberapa ketentuan mengenai hukum acara pidana yang ditentukan lain terdapat
pada beberapa Pasal dalam UU No. 31 tahun 1999 dan UU No. 20 tahun 2001 yang
antara lain mengatur tentang[1]:
a. Prioritas Penyelesaian Perkara Korupsi
Menurut ketentuan dalam Pasal 25 UU No. 31 tahun 1999 proses
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan dalam perkara
tindak pidana korupsi didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian
secepatnya. Prioritas penyelesaian perkara pidana seperti yang diatur dalam
ketentuan ini tidak dikenal dalam KUHAP, kecuali menyangkut hak tersangka untuk
segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada
penuntut umum sebagaimana diatur dalam Pasal 50 ayat (1) KUHAP dan kewajiban
Ketua Pengadilan Negeri untuk menunjuk hakim setelah Pengadilan Negeri menerima
surat pelimpahan perkara yang bersangkutan (Pasal 152 ayat (1) KUHAP).
b. Perluasan Sumber Alat Bukti Petunjuk
Dalam Pasal 26 A UU No. 20 tahun 2001 diatur mengenai perluasan
sumber alat bukti petunjuk, yaitu selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188
ayat (2) KUHAP, juga dapat diperoleh melalui informasi yang diucapkan, dikirim,
diterima atau disimpan secara elektronik dengan serat optik atau sejenisnya dan
dokumen yang berupa rekaman data yang dapat dijabat, dibaca, atau didengar
dengan bantuan sarana lain atau tidak baik yang tertuang di atas kertas dan
benda fisik lainnya maupun yang terekam secara elektronik berupa tulisan,
suara, gambar, rancangan, foto, huruf, tanda, angka atau perforasi yang
memiliki makna. Lebih jauh, dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik menyatakan bahwa informasi elektronik
(termasuk suara hasil penyadapan) merupakan alat bukti hukum yang sah.
c. Keleluasaan Penyidik
Sebagaimana diatur dalam Pasal 30 UU No. 31 tahun 1999, penyidik
dalam perkara korupsi berhak membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman
melalui pos, telekomunikasi, atau alat lainnya yang dicurigai berhubungan
dengan perkara tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa. Sedangkan menurut
Pasal 47 ayat (1) KUHAP pemeriksaan dan penyitaan surat dan kiriman tersebut
hanya dapat dilakukan dengan ijin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat.
d. Maksimalisasi Upaya Pengembalian Kerugian Negara
Dalam Pasal 32 ayat (1) UU No. 31 tahun 1999 disebutkan apabila
hasil penyidikan tidak memberikan cukup bukti adanya tindak pidana korupsi
sedangkan secara nyata terdapat kerugian negara, maka penyidik menyerahkan
hasil penyidikannya kepada pengacara negara untuk dilakukan gugatan secara
perdata. Sedangkan dalam Pasal 32 ayat (2) disebutkan putusan bebas dalam
perkara korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap
keuangan negara. Kedua ketentuan tersebut tidak dikenal dalam hukum acara
pidana biasa, kecuali dalam Pasal 67 KUHAP yang menyebutkan terdakwa atau
penuntut umum berhak untuk mengajukan banding atas putusan pengadilan tingkat
pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang
menyangkut kurang tepatnya masalah penetapan hukum dan putusan pengadilan dalam
acara cepat. Selain itu menurut Pasal 100 ayat (1) KUHAP jika terjadi
penggabungan perkara perdata dan perkara pidana, maka penggabungan tersebut
dengan sendirinya terjadi dalam pemeriksaan tingkat banding. Ketentuan dalam
Pasal 32 ayat (1) dan (2) UU No. 31 tahun 1999 tersebut tampaknya dimaksudkan
untuk memaksimalkan upaya pengembalian kerugian negara akibat tindak pidana
korupsi bahkan terhadap tersangka atau terdakwa yang pada saat proses
penyidikan atau persidangan meninggal dunia, tetap dapat dilakukan gugatan
perdata terhadap ahli waris tersangka atau terdakwa tersebut, sebagaimana
diatur dalam Pasal 33 dan 34 Undang-undang No. 31 tahun 1999. Sedangkan menurut
ketentuan Pasal 76, 77, dan 78 KUHP, yang menyebabkan tersangka atau terdakwa
lepas dari segala tuntutan hukum adalah ne
bis in idem, tersangka atau terdakwa meninggal dunia, dan tindak pidana
yang bersangkutan sudah kadaluarsa.
e. Kewajiban Memberikan Kesaksian
Pasal 36 UU No. 31 tahun 1999 menyebutkan mengenai kewajiban
memberikan kesaksian termasuk bagi mereka yang menurut pekerjaan, harkat dan
martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, kecuali petugas agama
yang menurut keyakinannya harus menyimpan rahasia. Sedangkan menurut ketentuan
KUHAP, yaitu dalam Pasal 170 ayat (1) bagi orang-orang tersebut dapat meminta
untuk dibebaskan sebagai saksi dalam suatu perkara pidana.
f. Pengadilan in absentia
Menurut Pasal 38 UU No. 31 tahun 1999, jika terdakwa dalam perkara
korupsi telah dipanggil secara sah tetapi tetap tidak hadir di sidang
pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus
tanpa kehadirannya (pengadilan in absentia). Sedangkan menurut hukum acara
pidana biasa sebagaimana diatur dalam Pasal 154 dan 196 KUHAP, hadirnya
terdakwa dalam persidangan dan pembacaan putusan hakim merupakan suatu
keharusan, sehingga dalam Pasal ini juga diatur mulai dari pemanggilan terdakwa
secara sah sampai upaya menghadirkan terdakwa secara paksa.
g. Pembuktian Terbalik
Selain penuntut umum yang wajib membuktikan dakwaannya, menurut
Pasal 38 B ayat (1) UU No. 20 tahun 2001 terdakwa tindak pidana korupsi wajib
membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan,
tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Sistem pembuktian terbalik
seperti ini tidak dikenal dalam proses perkara pidana biasa, kewajiban
pembuktian dalam proses perkara pidana biasa sepenuhnya dibebankan kepada jaksa
selaku penuntut umum. Walaupun sebenarnya sistem pembuktian terbalik ini
seringkali mendapatkan kritik, karena undang-undang tindak pidana korupsi
seolah-olah menganut “pembuktian terbalik” dimana terdakwa dapat membuktikan
kalau dirinya tidak bersalah, tetapi pada akhirnya tetap kembali pada Penuntut
Umum yang harus membuktikan bahwa terdakwa bersalah. Didalam KUHAP beban
pembuktian hanya ada Penuntut Umum.
h. Peran Serta Masyarakat
Dalam Pasal 41 dan 42 UU No. 31 tahun 1999 diatur mengenai peran
serta masyarakat dalam membantu pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Guna melaksanakan ketentuan Pasal 41 ayat (5) dan
Pasal 42 ayat (5) UU Nomor 31 Tahun 1999 tersebut maka dibentuk Peraturan
Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta
Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Peran serta masyarakat antara lain
diimplementasikan dalam bentuk hak untuk mencari, memperoleh dan memberikan
informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi. Jika dibandingkan
dengan ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) KUHAP, hak-hak tersebut merupakan
kewenangan penyelidik yang dalam hal ini adalah pejabat polisi negara Republik
Indonesia sebagaimana ditentukan oleh Pasal 4 KUHAP. Sedangkan peran serta
masyarakat, yaitu setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan atau
menjadi korban tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan
kepada penyelidik atau penyidik secara lisan maupun tertulis sebagaimana diatur
dalam Pasal 108 ayat (1) KUHAP.
Orang akan takut akan
melakukan tindak pidana korupsi jika penegak hukum benar-benar melaksanakan
undang-undang tanpa pandang bulu. Equality
before the law harus sungguh-sungguh dilaksanakan dan undang-undang tindak
pidana korupsi ditegakkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar