Kekhususan Delik Korupsi dari Sudut Hukum Pidana Materil
Salah satu
agenda reformasi di bidang pemerintahan adalah penyelenggaraan pemerintahan
yang bersih dan bebas dari unsur korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)
sebagaimana tertuang dalam TAP MPRRI No. XI/MPR/1998. Dalam konteks mewujudkan good government dan clean governance ini TAP MPR tersebut kemudian diimplementasikan ke
dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang salah satunya adalah
Undangundang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
kemudian dilakukan perubahan melalui UU No. 20 tahun 2001. Dalam konsideran
menimbang Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 disebutkan bahwa tindak pidana
korupsi yang selama ini terjadi secara meluas tidak hanya merugikan keuangan
negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak sosial ekonomi
masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi digolongkan sebagai
kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Dari
konsideran tersebut terlihat sifat khusus tindak pidana korupsi terletak pada
adanya unsur kerugian keuangan negara, yang bahkan dianggap sebagai pelanggaran
terhadap hak sosial ekonomi masyarakat. Sebagaimana undang-undang lain yang
mengatur hukum pidana khusus, UU No. 31 tahun 1999 dan UU No. 20 tahun 2001
mengandung beberapa ketentuan yang menyimpang dari ketentuan hukum pidana umum
yang terdapat dalam KUHP.
Sesuai adagium
lex specialist derogat legi generali,
ketentuan khusus dalam kedua undang-undang tersebut mengesampingkan ketentuan
dalam peraturan perundang-undangan lain yang bersifat umum. Dalam konteks ini
UU No. 31 tahun 1999 dan UU No. 20 tahun 2001 adalah lex specialist dan KUHP adalah legi
generali-nya. Menurut Nolte dalam Het Strafrecht en de Afzonderlijke
Wetten, penyimpangan dalam hukum pidana khusus terdiri dari dua macam, yaitu
penyimpangan secara tegas tersurat dalam undang-undang yang bersangkutan secara
expressisverbis dan penyimpangan
secara diam-diam[1].
Kekhususan dan
penyimpangan tersebut antara lain seperti terdapat dalam beberapa Pasal UU No.
31 tahun 1999 dan UU No. 20 tahun 2001, yaitu[2]:
a. Pengertian Pegawai Negeri diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 31 tahun 1999,
b. Korporasi sebagai subyek hukum diatur dalam
Pasal 1 ayat (3) UU No. 31 tahun 1999. Hal ini menyimpang dari ketentuan pidana
umum yang selalu menunjuk orang sebagai subyek hukum. Hampir semua perumusan
delik dalam KUHP dimulai dengan kata-kata “barang siapa” atau dalam Pasal 341
dan 342 KUHP yang dimulai dengan kata-kata “seorang ibu” yang menunjuk manusia
sebagai subyek hukum. Pengertian korporasi dalam Pasal 1 ayat (3) UU No. 31
tahun 1999 merupakan pengertian korporasi dalam arti luas. Disebutkan bahwa
korporasi adalah kumpulan orang atau kekayaan yang terorganisasi, baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
c.
Hukuman
Penuh untuk Percobaan dan Pembantuan
Dalam Pasal 15 UU No. 31 tahun 1999 disebutkan bahwa percobaan,
pembantuan (medepleger) maupun
permufakatan jahat dipidana sama dengan pidana terhadap tindak pidana korupsi.
Hal ini menyimpang dari ketentuan dalam Pasal 53 ayat (2) dan Pasal 57 ayat (1)
KUHP yang menentukan hukuman maksimal bagi percobaan dan pembantuan tindak
pidana, yaitu hukuman maksimal tindak pidana yang bersangkutan dikurangi
sepertiganya.
d.
Perluasan
Wilayah Indonesia
Dalam Pasal 16 UU No. 31 tahun 1999 disebutkan setiap orang yang
berada di luar wilayah Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan,
sarana atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi dipidana dengan
pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Ketentuan dalam Pasal
tersebut selain menyimpang dariketentuan dalam KUHP menyangkut hukuman terhadap
turut serta dalam tindak pidana (Pasal 55 KUHP), juga memungkinkan untuk
diberlakukannya hukum pidana Indonesia di luar wilayah Indonesia. Menurut ketentuan
dalam Pasal 2 KUHP, hukum pidana Indonesia berlaku bagi setiap orang yang
melakukan tindak pidana diseluruh wilayah Indonesia. Dengan pengecualian
berlaku bagi setiap orang di luar wilayah Indonesia yang berada dalam kapal
berbendera Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 KUHP, dan berlaku bagi
setiap orang di luar wilayah Indonesia yang melakukan tindak pidana kejahatan
terhadap keamanan negara, kejahatan menyangkut mata uang Indonesia dan
kejahatan pelayaran, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 KUHP.
e.
Pidana
Tambahan
Dalam Pasal 18 UU No. 31 tahun 1999 diatur mengenai pidana
tambahan selain pidana tambahan yang sudah ditentukan dalam Pasal 10 KUHP.
Pidana tambahan tersebut, yaitu perampasan barang bergerak yang berwujud atau
tidak berwujud dan barang tidak bergerak yang digunakan atau diperoleh dari tindak
pidana korupsi, termasuk perusahaan dan barang yang menggantikan barang-barang
tersebut. Selain itu ditentukan mengenai pidana tambahan yang berupa pembayaran
uang pengganti, penutupan sebagian atau seluruh perusahaan, dan pencabutan
seluruh atau sebagian hak tertentu dan keuntungan yang diberikan oleh
pemerintah.
f.
Gratifikasi
Salah satu hal baru yang diatur dalam UU No. 20 tahun 2001 adalah
mengenai gratifikasi yang diatur dalam Pasal 12 B undang-undang tersebut.
Menurut ketentuan dalam Pasal ini setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan
jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Ancaman pidana
terhadap pegawai negeri yang terbukti menerima suap tersebut adalah mulai dari
pidana sementara minimal empat tahun dan maksimal 20 tahun penjara sampai
dengan pidana seumur hidup. Hal yang menarik adalah ketentuan dalam Pasal tersebut
tidak berlaku apabila pegawai negeri penerima gratifikasi melaporkannya kepada
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu maksimal tigapuluh hari
sebagaimana diatur dalam Pasal 12 C Undang-undang ini. Sementara itu pengertian
gratifikasi menurut penjelasan Pasal 12 B adalah pemberian dalam arti luas yang
meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount),
komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan,
perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya yang diterima di
dalam maupun di luar negeri dengan menggunakan maupun tanpa sarana elektronik.
g.
Penjara
Minimum
Menurut Pasal 12 ayat (2) KUHP, pidana penjara minimum adalah satu
hari. Sedangkan tentang ancaman minimum dalam Pasal 5 UU No. 31 tahun 1999 (dan
beberapa pasal lainnya) disebutkan bahwa minimal penjara 1 tahun. Pengubahan
batas ancaman minimum penjara menjadi lebih berat ini dilakukan dalam rangka
mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana
korupsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar