PIDANA DAN PEMIDANAAN
(HUKUM PENITENSIER)
Sebelum membahas materi ini
terlebih dahulu kita memahami apa yang dimaksud dengan pidana dan pemidanaan.
Pidana merupakan nestapa/derita yang dijatuhkan dengan sengaja oleh negara
(melalui pengadilan) dimana nestapa itu dikenakan pada seseorang yang secara
sah telah melanggar hukum pidana dan nestapa itu dijatuhkan melalui proses
peradilan pidana. Adapun Proses Peradilan Pidana (the criminal) justice
process) merupakan struktur, fungsi, dan proses pengambilan keputusan oleh
sejumlah lembaga (kepolisian, kejaksaan,pengadilan & lembaga
pemasyarakatan) yang berkenaan dengan penanganan & pengadilan kejahatan dan
pelaku kejahatan.
Pemidanaan merupakan
penjatuhan pidana/sentencing sebagai upaya yang sah yang dilandasi oleh hukum
untuk mengenakan nestapa penderitaan pada seseorang yang melalui proses
peradilan pidana terbukti secara sah dn meyakinkan bersalah melakukan suatu
tindak pidana. Jadi pidana berbicara mengenai hukumannya dan pemidanaan
berbicara mengenai proses penjatuhan hukuman itu sendiri.
Pidana perlu dijatuhkan pada
seseorang yang melakukan pelanggaran pidana karena pidana juga berfungsi
sebagai pranata sosial. Dalam hal ini pidana sebagai bagian dari reaksi sosial
manakala terjadi pelanggaran terhadap norma-norma yang berlaku, yakni norma
yang mencerminkan nilai dan struktur
masyarakat yang merupakan reafirmasi simbolis atas pelanggaran terhadap “hati
nurani bersama“ sebagai bentuk ketidaksetujuan terhadap perilaku tertentu.
Bentuknya berupa konsekwensi yang menderitakan, atau setidaknya tidak
menyenangkan.
Ilmu yang mempelajari pidana
dan pemidanaan dinamakan Hukum Penitensier/Hukum Sanksi. Hukum Penitensier
adalah segala peraturan positif mengenai sistem hukuman (strafstelsel) dan
sistem tindakan (matregelstelsel), menurut Utrecht, hukum penitensier ini
merupakan sebagaian dari hukuman pidana positif yaitu bagian yang menentukan:
1. Jenis
sanksi terhadap suatu pelanggaran dalam hal ini terhadap KUHP dan sumber-sumber
hukum pidana lainnya (UU pidana yang memuat sanksi pidana dan UU non pidana
yang memuat sanksi pidana);
2. Beratnya
sanksi itu;
3. Lamanya
sanksi itu dijalani;
4. Cara
sanksi itu dijalankan;dan
5. Tempat
sanksi itu dijalankan.
Sanksi berupa pidana maupun
tindakan inilah yang akan dipelajari oleh hukum penitensier.
I S T I L A H
Ada beberapa istilah yang
digunakan untuk materi ini, al: Hukum Penitensier, Hukum Sanksi, Straf,
Hukuman, Punishment, dan Jinayah.
Menurut beberapa ahli hukum
pidana lain, hukuman, menurut pendapat Moeljatno: lebih tepat ”pidana” untuk
menerjemahkan straf. Sudarto juga berpendapat demikian. Sedangkan R. Soesilo
mendefinisikan pidana / hukum sebagai perasaan tidak enak / sengsara yang
dijatuhkan oleh Hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar UU Hukum
Pidana.
Menurut Muladi dan Barda
Nawawi Arief, unsur-unsur atau ciri-ciri pidana meliputi:
1. Suatu
pengenaan penderitaan/nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;
2. Diberikan
dengan sengaja oleh badan yang memiliki kekuasaan (berwenang);
3. Dikenakan
pada seseorang penanggung jawab peristiwa pidana menurut UU ( orang memenuhi
rumusan delik/pasal).
SEJARAH PIDANA DAN
PEMIDANAAN DI INDONESIA
Pidana dan pemidanaan di
Indonesia dimulai sejak Wetboek van Strafrecht (Wvs) diundangkan yaitu tahun
1915 dan berlaku di indonesia berdasarkan UU No. 1/1946 tentang KUHP
(berdasarkan atas konkordansi). Jenis-jenis hukuman yang dapat dijatuhkan oleh
Pengadilan berdasarkan plakat tgl. 22 April 1808, al:
1. Dibakar
hidup, terikat pada suatu tiang (hanya untuk pelaku pembakar/pembunuh)
2. Dimatikan
dengan suatu keris
3. Dicap
bakar.
4. Dipukul,
dipukul dengan rantai (pidana badan/corporal punishment)
5. Ditahan/dimasukkan
dalam penjara
6. Kerja
paksa pada pekerjaan-pekerjaan umum.
Menurut Utrecht dan
R.Soesilo, hukum pidana merupakan suatu sanksi yang bersifat istimewa:
terkadang dikatakan melanggar HAM karena melakukan perampasan terhadap harta
kekayaan (pidana denda), pembatasan kebebasan bergerak/kemerdekaan orang
(pidana kurungan/penjara) dan perampasan terhadap nyawa (hukuman mati). Di
samping itu hukum pidana merupakan ultimum remedium (senjata pamungkas,
jalan terakhir, jalan satu-satunya/tiada jalan lain).
Selanjutnya kita akan membahas
siapakah pihak yang berhak menuntut, menjatuhkan, dan memaksa pelaku untuk
menjalankan pidana. Beysens seperti dikutip oleh Utrecht menyatakan pada
dasarnya negaralah yang berhak, karena perbuatan tersebut bertentangan dengan
tata tertib negara (dilihat dari sudut obyektif), dalam hal ini KUHP merupakan
peraturan yang dibentuk oleh negara dan perbuatannya merupakan tindakan yang
dapat dipertanggung jawabkan oleh pelaku (dilihat dari sudut subyektif);
Utrecht juga menambahkan
bahwa negaralah yang berhak melakukan hal tersebut, mengingat;
- Negara sebagai organisasi sosial
tertinggi oleh karena itu sangat logis jika negara diberi tugas
mempertahankan tata tertib masyarakat;
- Negara sebagai satu-satunya alat yang
dapat menjamin kepastian hukum.
Teori-Teori yang berkaitan
dengan Pemidanaan Tujuan Pemidanaan Menurut Doktrin
1.
Teori Absolut/Retributif/Pembalasan (lex talionis), para penganutnya antara
lain E. Kant, Hegel,Leo Polak, Mereka berpandapat bahwa hukum adalah sesuatu
yang harus ada sebagai konsekwensi dilakukannya kejahatan dengan demikian orang
yang salah harus dihukum. Menurut Leo Polak (aliran retributif), hukuman harus
memenuhi 3 syarat:
a. Perbuatan
tersebut dapat dicela (melanggar etika)
b. Tidak bboleh dengan maksud prevensi (melanggar etika)
c. Beratnya
hukuman seimbang dengan beratnya delik.
2. Teori
relatif / tujuan (utilitarian), menyatakan bahwa penjatuhkan hukuman harus
memiliki tujuan tertentu, bukan hanya sekedar sebagai pembalasan. Hukuman pada
umumnya bersifat menakutkan, sehingga seyogyanya hukuman bersifat
memperbaiki/merehabilitasi karena pelaku kejahatan adalah orang yang “sakit
moral” sehingga harus diobati. Jadi hukumanya lebih ditekankan pada treatment
dan pembinaan yang disebut juga dengan model medis.
Tujuan
lain yang hendak dicapai dapat berupa upaya prevensi, jadi hukuman dijatuhkan
untuk pencegahan yakni ditujukan pada masyarakat luas sebagai contoh pada
masyarakat agar tidak meniru perbuatan atau kejahatan yang telah dilakukan
(prevensi umum) dan ditujukan kepada si pelaku sendiri, supaya jera/kapok,
tidak mengulangi perbuatan/kejahatan serupa; atau kejahatan lain (prevensi
khusus). Tujuan yang lain adalah memberikan perlindungan agar orang
lain/masyarakat pada umumnya terlindung, tidak disakiti, tidak merasa takut dan
tidak mengalami kejahatan.
3. Teori
Gabungan, merupakan gabungan dari teori-teori sebelumnya. Sehingga pidana bertujuan untuk:
·
Pembalasan, membuat pelaku
menderita
·
Upaya prevensi, mencegah
terjadinya tindak pidana
·
Merehabilitasi Pelaku
·
Melindungi Masyarakat
Saat
ini sedang berkembang apa yang disebut sebagai Restorative Justice sebagai
koreksi atas Retributive justice. Restorative Justice (keadilan yang
merestorasi) secara umum bertujuan untuk membuat pelaku mengembalikan keadaan
kepada kondisi semula; Keadilan yang bukan saja menjatuhkan sanksi yang
seimbang bagi pelaku namun juga memperhatikan keadilan bagi korban. Pemahaman
ini telah diakomodir oleh R-KUHP tahun 2005.
Tujuan Pemidanaan berdasarkan Pasal 54 R-KUHP
tahun 2005:
Pasal 54
(1) Pemidanaan
bertujuan:
a. mencegah
dilakukanya tindak pidana dengan
menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
b. memasyarakatkan
terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan
berguna;
c. menyelesaikan
konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
d. membebaskan
rasa bersalah pada terpidana dan;
e. memaafkan
terpidana.
(2) Pemidanaan
tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia .
Dalam
pasal 55 R-KUHP juga terdapat pedoman pemidanaan yang belum diatur dalam UU
kita.
Pasal 55;
(1) Dalam
pemidanaan wajib dipertimbangkan:
a. Kesalahan
pembuat tindak pidana;
b. Motif
dan tujuan melakukan tindak pidana;
c. Sikap
batin pembuat tindak pidana;
d. Apakah
tindak pidana dilakukan dengan berencana;
e. Cara
melakukan tindak pidana;
f. Sikap
dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;
g. Riwayat
hidup dan keadaan sosial dan ekonomi pembuat tindak pidana
h. Pengaruh
pidana terhadap massa depan pembuat tindak pidana;
i. Pengaruh
tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;
j. Pemaafan
dari korban dan/atau keluarganya dan /atau;
k. Pandangan
masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.
(2) Rintangan
perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan
atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak
menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi
keadilan dan kemanusiaan.
Dari aturan diatas dapat
dicermati bahwa dalam R-KUHP menganut teori prevensi, rehabilitasi dan
restotaif dalam tujuan pemidanaannya. Teori prevensi umum tercermin dari tujuan
pemidanaan mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi
pengayoman kepada masyarakat. Teori rehabilitasi dan resosialisasi tergambar
dari tujuan pemidanaan untuk memasyarakatkan terpidana, dengan melakukan
pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna. Dan restoratif terdapat
dalam tujuan pemidanaan yang bertujuan untuk menyelesaikan konflik yang
ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa
damai dalam damai dalam masyarakat; membebaskan rasa bersalah pada terpidana;
dan memaafkan terpidana.
Jenis-jenis
Hukuman/Pidana Menurut Pasal 10 KUHP :
a. Hukuman
Pokok:
1. Hukuman
mati
2. Penjara
(sementara waktu atau seumur hidup)
3. Kurungan
4. Denda
(UU No. 1/1960, dikonversi: dikali 15)
5. Tutupan
(UU No.20/1946)
b. Hukuman
Tambahan:
1. Pencabutan
beberapa hak tertentu
2. Perampasan
barang tertentu
3. pengumuman
keputusan hakim
Jenis-jenis Hukuman /
Pidana Menurut R-KUHP:
Pasal 65
(1)
Pidana pokok terdiri atas:
a.
pidana penjara;
b.
pidana tutupan
c.
pidana pengawasan
d.
pidana denda; dan
e.
pidana kerja sosial.
(2)
Urutan pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) menentukan berat ringannya pidana
Pasal 66
Pidana mati merupakan pidana
pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif.
Pasal 67
(1) Pidana
tambahan terdiri atas:
a. pencabutan
hak tertentu;
b. perampasan
barang tertentu dan/atau tagihan;
c. pengumuman
putusan hakim;
d. pembayaran
ganti kerugian; dan
e. pemenuhan
kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat.
(2) Pidana
tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang
berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan lain.
(3) Pidana
tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang
berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan
tindak pidana.
(4) Pidana
tambahan untuk percobaan dan pembantuan adalah sama dengan pidana tambahan
untuk pidan pidananya.
Uraian tentang jenis-jenis
hukuman menurut KUHP:
Hukuman/pidana Mati (diatur
dalam pasal 11 jo Pasal 10 KUHP)
Tindak Pidana yang diancam
dengan hukuman mati :
A. Dalam
KUHP :
·
Pembunuhan berencana
·
Kejahatan terhadap keamanan
negara
·
Pencurian dengan pemberatan
·
Pemerasan dengan pemberatan
·
Pembajakan di laut dengan
pemberatan.
B. Diluar
KUHP;
·
Terorisme
·
Narkoba
·
Korupsi
·
Pelanggaran HAM Berat;
Kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida yang dilakukan secara meluas dan
sistematis.
Hukuman mati dijalankan oleh
algojo di tiang gantungan (ps.11 KUHP), tapi berdasarkan Penpres no. 2/1964 :
ditembak dibagian jantung dan/atau kepala dan tidak dilakukan di muka umum
(rahasia, baik waktu dan tempat eksekusinya).
Hukuman mati tidak dapat
dijatuhkan pada anak; pidana mati tidak dapat dilakukan pada orang yang setelah
dihukum menjadi gila dan wanita hamil.
Eksekusi baru dapat
dilakukan jika orang gila itu sembuh dan wanita tersebut telah melahirkan.
Hukuman/Pidana Penjara
(Menurut pasal-pasal dalam KUHP dan UU No. 12/1995 tentang Pemasyarakatan)
Pasal 12 KUHP:
Hukuman penjara lamanya
seumur hidup atau sementara/pidana penjara dilakukan dalam jangka waktu
tertentu (min 1 hari-selama-lamanya 15 tahun atau dapat dijatuhkan selama 20
thn, tapi tidak boleh lebih dari 20 thn). Pidana penjara dilakukan di penjara
(prison/jail), di indonesia disebut sabagai Lembaga Pemasyarakatan (LP/lapas).
Untuk pemulihan kembali hubungan antara narapidana dan masyarakat, Penghuninya
disebut narapaidana/napi (inmates): Warga Binaan Pemasyarakatan (berdasarkan UU
No.12/1995).
Pembagian Sistem Penjara –
gevangenisstelsel, menurut Utrecht :
·
Sistem Pennsylvania, AS :
para hukuman terus menerus ditutup sendiri-sendiri dalam satu kamar sel.
Terhukum hanya melakukan kontak dengan penjaga sel/sipir penjara. Dilakukan
peringatan: terhukum diperkenankan melakukan pekerjaan tangan dan secara
terbatas dapat menerima tamu, tapi ia tetap dilarang bergaul dengan terhukum
lain
·
Sistem Auburn, New York, AS,
disebut juga sebagai silent system, di mana para hukuman pada siang hari
disuruh bekerja bersama-sama tapi tidak boleh saling bicara, malam hari kembali
ke sel.
·
Sistem Irlandia (Irish
System) yang berasal dr mark system, menggunakan penilaian. Para hukuman
mula-mula ditempatkan dalam ruang tertutup terus menerus, dalam hal ini
diterapkan hukum yang keras. Terhukum diberikan waktu untuk merenung, menyesali
perbuatannya dan diharapkan ia dapat memperbaiki diri. Kalau dibiarkan bergaul
dengan napi lain dikhawatirkan bisa saja menjadi bertambah jahat. Jika
berkelakuan baik, maka hukumannya
diperingan : mulai dimasyarakatkan dan dapat diberikan the rise of
feformatory (pelepasan bersyarat), publik work prison, dan ticket to leave. Kemudian
diperkenankan kerja sama-sama, lalu secara bertahap diberi kelonggaran untuk
bergaul satu sama lain. Pelepasan bersyarat dapat dilakukan jika telah
menjalani dari ¾ hukumannya.
·
Sistem Elmira (NY, AS),
diperuntukan bagi terhukum yang berusia tidak lebih dari 30 thn. Disebut
sebagai penjara reformatory yakni tempat untuk memperbaiki orang menjadi warga
masyarakat yang berguna. Mirip dengan sistem Irlandia namun titik berat lebih
pada usaha-usaha untuk memperbaiki si pelaku, jadi terpidana diberikan
pengajaran, pendidikan dan pekerjaan yang nantinya bermanfaat bagi dirinya dan
masyarakat.
·
Sistem Borstal (LONDON, UK).
Dalam penerapannya ada ketentuan khusus dari Menteri Kehakiman (Minister of
justice). Khusus untuk pelaku yang masih muda yaitu mereka yang berusia kurang
dari 19 th. Seperti LP Pemuda dan LP Anak laki-laki di Tangerang, Banten.
·
Sistem Osborne (NY,US).
Memilih ‘BOS’ – mandor dr kalangan napi sendiri untuk mengatur napi :
Tamping/building tender.
Di
Indonesia diterapkan ke 5 nya :
·
Beberapa hukuman dimasukkan
dalam satu sel atau 1 orang/1 sel. Minimum security/maximum security/Super
Maximum Security (SMS)
·
Napi pada umumnya boleh
keluar dari sel pada pagi dan/atau siang hari, sore masuk sel sampai besok
pagi. Ada jadwal kegiatannya.
·
Jika melakukan pelanggaran
berat atau berkelakuan tidak baik ataupun melanggar aturan maka dimasukkan
dalam sel sendirian, disebut juga dengan tutupan sunyi.
·
Boleh bekerja di luar sel
secara bersama-sama = kerja di kebon/taman, masak di dapur, bersihkan kolam,
kerja di bengkel LP untuk buat kerajinan/furniture, menjahit, menyulam,
merangkai bunga dsb. Boleh belajar/sekolah dlm LP, boleh membaca, dengar
radio/nonton TV olah raga dsb. Antara warga binaan boleh saling berinteraksi
sesuai dengan jam yang telah ditentukan.
·
Dapat diberikan pelepasan
bersyarat PB- reclassering), jika telah menempuh 2/3 dr hukumannya (pasal 15
KUHP). Selain itu terdapat juga ketentuan tentang pidana percobaan seperti yang
diatur dalam Pasal 14a KUHP.
·
Meskipun hukuman penjara dilakukan
bersama-sama tapi tetap ada pemisahan mutlak :
©
Laki-laki dan perempuan
©
Orang dewasa dan anak di
bawah umur
©
Orang yang dihukum/ditahan –
orang yang dihukum karena upaya preventif
©
Orang militer dan orang
sipil
Pidana kurungan
Dilaksanakan di penjara,
tapi lebih bebas, ada hak pistole yaitu tersedia fasilitas yang lebih
dari terpidana penjara.
Pidana Denda (Pasal
30 ayat (1) KUHP dan UU No. 1/1960)
Dengan adanya pidana denda
seringkali penerapan Hukum Pidana menjadi kabur karena pidana denda dianggap
bukan pidana karena pelaku tadi ada di LP.
Pidana Tutupan
(UU No.20/1946)
Pidana yang dijatuhkan oleh
Hakim dengan mempertimbangkan bahwa perbuatan yang dilakukan didasari oleh
suatu motivasi yang patut dihormati/dihargai. Tempatnya di penjara, namun
diberikan fasilitas yang lebih baik karena terpidana boleh membawa dan
menikmati buku bacaan dan radio/tape. Untuk hukuman ini terdapat 1
yurisprudensi di Jogja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar