RUANG
LINGKUP BERLAKUNYA HUKUM PIDANA
A. RUANG BERLAKUNYA HUKUM
PIDANA MENURUT WAKTU
Penerapan
hukum pidana atau suatu perundang-undangan pidana berkaitan dengan waktu dan tempat perbuatan dilakukan. Serta berlakunya hukum pidana menurut waktu menyangkut penerapan hukum pidana
dari segi lain. Dalam hal seseorang melakukan perbuatan (feit) pidana sedangkan perbuatan tersebut belum diatur atau belum
diberlakukan ketentuan yang bersangkutan, maka hal itu tidak dapat dituntut dan
sama sekali tidak dapat dipidana.
Asas Legalitas
(nullum delictum nula poena sine praevia
lege poenali) Terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Tidak dapat dipidana
seseorang kecuali atas perbuatan yang dirumuskan dalam suatu aturan
perundang-undangan yang telah ada terlebih dahulu.
Dalam
perkembangannya amandemen ke-2 UUD 1945 dalam Pasal 28 ayat (1) berbunyi dan
berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun dan Pasal 28 J ayat (2) Undang-undang Dasar 1945
yang berbunyi : “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis”. Karenanya asas ini dapat pula dinyatakan sebagai asas konstitusional.
Dalam
catatan sejarah asas ini dirumuskan oleh Anselm von Feuerbach dalam teori : “vom psychologishen zwang (paksaan
psikologis)” dimana adagium : nullum delictum nulla poena sine praevia lege
poenali yang mengandung tiga prinsip dasar :
- Nulla
poena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang)
- Nulla
Poena sine crimine (tiada pidana tanpa perbuatan pidana)
- Nullum
crimen sine poena legali (tiada perbuatan pidana tanpa undang-undang pidana
yang terlebih dulu ada)
Adagium
ini menganjurkan supaya :
1) Dalam
menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja
tentang macamnya perbuatan yang harusdirumuskan dengan jelas, tetapi juga
macamnya pidana yang diancamkan;
2) Dengan cara demikian maka orang yang akan
melakukan perbuatanyang dilarang itu telah mengetahui terlebih dahulu pidana
apa yangakan dijatuhkan kepadanya jika nanti betul-betul melakukan perbuatan;
3) Dengan
demikian dalam batin orang itu akan mendapat tekanan untuk tidak berbuat.
Andaikata dia ternyata melakukan juga perbuatan yang dilarang, maka dinpandang
dia menyetujui pidana yang akan dijatuhkan kepadanya.
Prof.
Moeljatno menjelaskan inti pengertian yang dimaksud dalam asas legalitas yaitu
:
1) Tidak
ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih
dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. Hal ini dirumuskan
dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.
2) Untuk
menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi, akan tetapi
diperbolehkan penggunaan penafsiran ekstensif.
3) Aturan-aturan
hukum pidana tidak berlaku surut.
Schaffmeister
dan Heijder merinci asas ini dalam pokok-pokok pikiran sebagai berikut :
a) Tidak
dapat dipidana kecuali ada ketentuan pidana berdasar peraturan
perundang-undangan (formil).
b) Tidak
diperkenankan Analogi (pengenaan suatu undang-undang terhadap
perbuatan yang tidak diatur oleh undang-undang tersebut).
c) Tidak
dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan
(Hukum tidak tertulis).
d) Tidak
boleh ada perumusan delik yang kurang
jelas (lex Certa).
e) Tidak
boleh Retroaktif (berlaku surut)
f) Tidak
boleh ada ketentuan pidana diluar Undang-undang.
g) Penuntutan
hanya dilakukan berdasarkan atau dengan cara yang ditentukan undang-undang.
B. RUANG BERLAKUNYA HUKUM
PIDANA MENURUT TEMPAT (LEX LOCI)
Teori
tetang ruang lingkup berlakunya hukum pidana nasional menurut tempat
terjadinya. Perbuatan (yurisdiksi hukum
pidana nasional), apabila ditinjau dari sudut Negara ada 2 (dua) pendapat
yaitu :
a. Perundang-undangan
hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang terjadi diwilayah Negara,
baik dilakuakan oleh warga negaranya sendiri maupun oleh orang lain (asas territorial).
b. Perundang-undangan
hukum pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang dilakukan oleh warga
Negara, dimana saja, juga apabila perbuatan pidana itu dilakukan diluar wilayah
Negara. Pandangan ini disebut menganut asas
personal atau prinsip nasional aktif.
Pada
bagian ini, akan melihat kepada berlakunya hukum pidana menurut ruang tempat
dan berkaitan pula dengan orang atau subyek. Dalam hal ini asas-asas hukum
pidana menurut tempat :
I.
Asas Teritorial.
II.
Asas Personal (nasional
aktif).
III.
Asas Perlindungan (nasional
pasif)
IV.
Asas Universal.
Ad.
I. Asas Teritorial
Asas
ini diatur juga dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu dalam pasal
2 KUHP yang menyatakan : “Ketentuan
pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang
melakukan suatu tindak pidana di Indonesia”.
Pasal
ini dengan tegas menyatakan asas territorial, dan ketentuan ini sudah
sewajarnya berlaku bagi Negara yang berdaulat. Asas territorial lebih menitik
beratkan pada terjadinya perbuatan pidana di dalam wilayah Negara tidak
mempermasalahkan siapa pelakunya, warga Negara atau orang asing. Sedang dalam
asas kedua (asas personal atau asas nasional yang aktif) menitik beratkan pada
orang yang melakukan perbuatan pidana, tidak mempermasalahkan tempat terjadinya
perbuatan pidana. Asas territorial yang pada saat ini banyak diikuti oleh
Negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Hal ini adalah wajar karena
tiap-tiap orang yang berada dalam wilayah suatu Negara harus tunduk dan patuh
kepada peraturan-peraturan hukum Negara dimana yang bersangkutan berada.
Perluasan dari Asas Teritorialitas
diatur dalam pasal 3 KUHP yang menyatakan : “Ketentuan
pidana perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar
wilayah Indonesia melakukan tindak pidana didalan kendaraan air atau pesawat
udara Indonesia”.
Ketentuan
ini memperluas berlakunya pasal 2 KUHP, tetapi tidak berarti bahwa perahu
(kendaraan air) dan pesawat terbang lalu dianggap bagian wilayah Indonesia.
Tujuan dari pasal ini adalah supaya perbuatan pidana yang terjadi di dalam
kapal atau pesawat terbang yang berada di perairan bebas atau berada di wilayah
udara bebas, tidak termasuk wilayah territorial suatu Negara, sehingga ada yang
mengadili apabila terjadi suatu perbuatan pidana.
Setiap
orang yang melakukan perbuatan pidana diatas alat pelayaran Indonesia diluar wilayah
Indonesia. Alat pelayaran pengertian lebih luas dari kapal. Kapal merupakan
bentuk khusus dari alat pelayaran. Di luar Indonesia atau di laut bebas dan
laut wilayah Negara lain.
Asas-asas
Extra Teritorial / kekebalan dan
hak-hak Istimewa (Immunity and
Previlege).
·
Kepala Negara asing dan
anggota keluarganya.
·
Pejabat-pejabat perwakilan
asing dan keluarganya.
·
Pejabat-pejabat pemerintahan
Negara asing yang berstatus diplomatik yang dalam perjalanan melalui
Negara-negara lain atau menuju Negara lain.
·
Suatu angkatan bersenjata
yang terpimpin.
·
Pejabat-pejabat badan
Internasional.
·
Kapal-kapal perang dan
pesawat udara militer / ABK diatas kapal maupun di luar kapal.
Ad.
II. Asas Personal
Asas Personal
atau Asas Nasional yang aktif tidak
mungkin digunakan sepenuhnya terhadap warga Negara yang sedang berada dalam
wilayah Negara lain yang kedudukannya sama-sama berdaulat. Apabila ada warga
Negara asing yang berada dalam suatu wilayah Negara telah melakukan tindak
pidana dan tindak pidana dan tidak diadili menurut hukum Negara tersebut maka
berarti bertentangan dengan kedaulatan Negara tersebut. Pasal 5 KUHP hukum
Pidana Indonesia berlaku bagi warga Negara Indonesa di luar Indonesia yang
melakukan perbuatan pidana tertentu Kejahatan terhadap keamanan Negara,
martabat kepala Negara, penghasutan, dll.
Pasal
5 KUHP menyatakan :
“(1).
Ketetentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi warga
Negara yang di luar Indonesia melakukan : salah satu kejahatan yang tersebut
dalam Bab I dan Bab II Buku Kedua dan Pasal-Pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan
451. Salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam
perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut
perundang-undangan Negara dimana perbuatan itu dilakukan diancam dengan pidana.
(2).
Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga jika
terdakwa menjadi warga Negara sesudah melakukan perbuatan”.
Sekalipun
rumusan pasal 5 ini memuat perkataan “diterapkan
bagi warga Negara Indonesia yang diluar wilayah Indonesia”’, sehingga
seolah-olah mengandung asas personal, akan tetapi sesungguhnya pasal 5 KUHP
memuat asas melindungi kepentingan nasional (asas
nasional pasif) karena :
Ketentuan
pidana yang diberlakukan bagi warga Negara diluar wilayah territorial wilyah
Indonesia tersebut hanya pasal-pasal tertentu saja, yang dianggap penting
sebagai perlindungan terhadap kepentingan nasional. Sedangkan untuk asas
personal, harus diberlakukan seluruh perundang-undangan hukum pidana bagi warga
Negara yang melakukan kejahatan di luar territorial wilayah Negara.
Ketentuan
pasal 5 ayat (2) adalah untuk mencegah agar supaya warga Negara asing yang
berbuat kejahatan di Negara asing tersebut, dengan jalan menjadi warga Negara
Indonesia (naturalisasi).
Bagi
Jaksa maupun hakim Tindak Pidana yang dilakukan di negara asing tersebut,
apakah menurut undang-undang disana merupakan kejahatan atau pelanggaran, tidak
menjadi permasalahan, karena mungkin pembagian tindak pidananya berbeda dengan
di Indonesia, yang penting adalah bahwa tindak pidana tersebut di Negara asing
tempat perbuatan dilakukan diancam dengan pidana, sedangkan menurut KUHP
Indonesia merupakan kejahatan, bukan pelanggaran.
Ketentuan
pasal 6 KUHP :
“ Berlakunya pasal 5 ayat (1) butir 2 dibatasi
sedemikian rupa sehingga tidak dijatuhkan pidana mati, jika menurut
perundang-undangan Negara dimana perbuatan dilakukan terhadapnya tidak
diancamkan pidana mati”.
Latar
belakang ketentuan pasal 6 ayat (1) butir 2 KUHP adalah untuk melindungi
kepentingan nasional timbal balik (mutual
legal assistance). Oleh karena itu menurut Moeljatno, sudah sewajarnya pula
diadakan imbangan pulu terhadap maksimum pidana yang mungkin dijatuhkan menurut
KUHP Negara asing tadi.
Ad.
III. Asas Perlindungan
Sekalipun
asas personal tidak lagi digunakan sepenuhnya tetapi ada asas lain yang
memungkinkan diberlakukannya hukum pidana nasional terhadap perbuatan pidana
yang terjadi di luar wilayah Negara
Pasal
4 KUHP (seteleh diubah dan ditambah berdasarkan Undang-undang No. 4 Tahun 1976)
“Ketentuan
pidana dalam perundang-undangan
Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan di luar Indonesia
:
1. Salah
satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal 104, 106, 107, 108 dan 131;
2. Suatu
kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh Negara atau
bank, ataupun mengenai materai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh
Pemerintah Indonesia;
3. Pemalsuan
surat hutang atau sertifikat hutang atas tanggungan suatu daerah atau bagian
daerah Indonesia, termasuk pula pemalsuan talon, tanda deviden atau tanda bunga
yang mengikuti surat atau sertifikat itu, dan tanda yang dikeluarkan sebagai
pengganti surat tersebut atau menggunakan surat-surat tersebut di atas, yang
palsu atau dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak palsu;
4. Salah
satu kejahatan yang disebut dalam Pasal-pasal 438, 444 sampai dengan 446
tentang pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada
kekuasaan bajak laut dan pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara
secara melawan hukum, pasal 479 l, m, n dan o tentang kejahatan yang mengancam
keselamatan penerbangan sipil.
Dalam
pasal 4 KUHP ini terkandung asas melindungi kepentingan yaitu melindungi
kepentingan nasional dan melindungi kepentingan internasional (universal).
Pasal ini menentukan berlakunya hukum pidana nasional bagi setiap orang (baik
warga Negara Indonesia maupun warga negara asing) yang di luar Indonesia
melakukan kejahatan yang disebutkan dalam pasal tersebut.
Dikatakan
melindungi kepentingan nasional karena pasal 4 KUHP ini memberlakukan
perundang-undangan pidana Indonesia bagi setiap orang yang di luar wilayah
Negara Indonesia melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan kepentingan
nasional, yaitu :
1) Kejahatan
terhadap keamanan Negara dan kejahatan terhadap martabat / kehormatan Presiden Republik
Indonesia dan Wakil Presiden Republik Indonesia (pasal 4 ke-1)
2) Kejahatan
mengenai pemalsuan mata uang atau uang kertas Indonesia atau segel / materai
dan merek yang digunakan oleh pemerintah Indonesia (pasal 4 ke-2)
3) Kejahatan
mengenai pemalsuan surat-surat hutang atau sertifkat-sertifikat hutang yang
dikeluarkan oleh Negara Indonesia atau bagian-bagiannya (pasal 4 ke-3)
4) Kejahatan
mengenai pembajakan kapal laut Indonesia dan pembajakan pesawat udara Indonesia
(pasal 4 ke-4)
Ad.
IV. Asas Universal
Berlakunya
pasal 2-5 dan 8 KUHP dibatasi oleh pengecualian-pengecualian dalam hukum
internasional. Bahwa asas melindungi kepentingan internasional (asas universal)
adalah dilandasi pemikiran bahwa setiap Negara di dunia wajib turut
melaksanakan tata hukum sedunia (hukum internasional).
Dikatakan
melindungi kepentingan internasional (kepentingan universal) karena rumusan
pasal 4 ke-2 KUHP (mengenai kejahatan pemalsuan mata uang atau uang kertas) dan
pasal 4 ke-4 KUHP (mengenai pembajakan
kapal laut dan pembajakan pesawat udara) tidak menyebutkan mata uang atau uang
kertas Negara mana yang dipalsukan atau kapal laut dan pesawat terbang negara
mana yan dibajak. Pemalsuan mata uang atau uang kertas yang dimaksud dalam
pasal 4 ke-2 KUHP menyangkut mata uang atau uang kertas Negara Indonesia, akan
tetapi juga mungkin menyangkut mata uang atau uang kertas Negara asing.
Pembajakan kapal laut atau pesawat terbang yang dimaksud dalam pasal 4 ke-4
KUHP dapat menyangkut kapal laut Indonesia atau pesawat terbang Indonesia, dan
mungkin juga menyangkut kapal laut atau pesawat terbang Negara asing.
Jika
pemalsuan mata uang atau uang kertas, pembajakan kapal, laut atau pesawat
terbang adalah mengenai kepemilikan Indonesia, maka asas yang berlaku
diterapkan adalah asas melindungi kepentingan nasional (asas nasional pasif).
Jika pemalsuan mata uang atau uang kertas, pembajakan kapal laut atau pesawat
terbang adalah mengenai kepemilikan Negara asing, maka asas yang berlaku adalah
asas melindungi kepentingan internasional (asas universal).
Pasal
7 KUHP
“Ketentuan
pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap pejabat yang di
luar Indonsia melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam
Bab XXVIII Buku Kedua”.
Pasal
ini mengenai kejahatan jabatan yang sebagian besar sudah diserap menjadi tindak
pidana korupsi. Akan tetapi pasal-pasal tersebut (pasal 209, 210, 387, 388,
415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, 435) telah dirubah oleh Undang-undang
No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan rumusan tersendiri sekalipun masih
menyebut unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal KUHP yang diacu.
Dalam hal demikian apakah pasal 7 KUHP masih dapat diterapkan ? untuk masalah
tersebut harap diperhatikan pasal 16 UU No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi : “setiap
orang di luar wilayah Negara republik Indonesia yang memberikan bantuan,
kesempatan, sarana atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi dipidana
dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2, pasal 3, pasal 5 sampai dengan pasal 14”
Pasal
8 KUHP
“Ketentuan
pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku nahkoda dan penumpang perahu
Indonesia, yang di luar Indonesia, sekalipun di luar perahu, melakukan salah
satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Bab XXIX Buku Kedua dan Bab IX buku ketiga, begitu pula yang
tersebut dalam peraturan mengenai surat laut dan pas kapal di Indonesia, maupun
dalam ordonansi perkapalan”.
Dengan
telah diundangkannya tindak pidana tentang kejahatan penerbangan dan kejahatan
terhadap sarana / prasarana penerbangan berdasarkan UU No. 4 Tahun 1976 yang
dimasukkan dalam KUHP pada Buku Kedua Bab XXIX A. pertimbangan lain untuk
memasukkan Bab XXIX A Buku Kedua ke dalam pasal 8 KUHP adalah juga menjadi
kenyataan bahwa kejahatan penerbangan sudah digunakan sebagai bagian dari
kegiatan terorisme yang dilakukan oleh kelompok terorganisir pasal 9 KUHP.
Diterapkannya
pasal-pasal 2-5-7 dan 8 dibatasi oleh pengecualian-pengecualian yang diakui
dalam hukum-hukum internasional.
Menurut
Moeljatno, pada umumnya pengecualian yang diakui meliputi :
1) Kepala
Negara beserta keluarga dari Negara sahabat, dimana mereka mempunyai hak
eksteritorial. Hukum nasional suatu Negara tidak berlaku bagi mereka
2) Duta
besar Negara asing beserta keluarganya meeka juga mempunyai hak eksteritorial.
3) Anak
buah kapal perang asing yang berkunjung di suatu Negara, sekalipun ada di luar
kapal. Menurut hukum internasional kapal peran adalah teritoir Negara yang
mempunyainya
4) Tentara
Negara asing yang ada di dalam wilayah Negara dengan persetujuan Negara itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar